20 - Worry

81 25 1
                                    

20 – Worry

Hari Sabtu itu, Eris tak bertemu dengan Kai. Dia tidak masuk, dan Eris enggan bertanya alasan dia tidak masuk pada Nyle atau Gavin. Kenapa dia harus peduli? Toh selama ini Kai memang sering membolos sesuka hatinya. Hanya saja, meski Kai tidak masuk hari itu, Nyle, Gavin, Adriel dan Xander tetap mengekori Eris ketika ia pergi ke kantin. Dugaannya, ini pasti perintah Kai, entah apa alasannya.

Dan sepanjang hari itu, Eris merasa waktu berjalan sangat lambat. Berkali-kali ia mengecek jam ponselnya, tapi tampaknya angka di pojok layarnya itu tidak juga berubah. Eris mendengus kesal seraya berusaha menyibukkan diri dengan mencoret-coret buku tulisnya. Hari ini benar-benar terasa membosankan.

Ketika akhirnya bel pulang berbunyi, Eris bergerak cepat membereskan bukunya. Ia ingin segera pulang, setidaknya dia bisa menonton televisi atau bermain game dari laptopnya untuk mengusir bosan. Hana bahkan tampak heran ketika Eris pulang lebih dulu daripada dirinya.

Eris setengah berlari melewati koridor. Eris tak mengawasi sekelilingnya ketika berjalan menuju gerbang dengan langkah cepat, sampai dia mendengar ada yang memanggilnya. Eris menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah panggilan, dan ia benar-benar terkejut ketika melihat Om Bram berdiri di depan mobilnya, di seberang jalan.

Eris tak dapat menahan senyumnya ketika ia menyeberang jalan dan menghampiri omnya itu.

"Surprise," kata Om Bram ketika Eris memeluknya.

"Kupikir Om sangat sibuk di kantor," kata Eris ketika ia melepaskan pelukannya.

Om Bram tersenyum. "Tapi Om mendengar kabar yang membuat Om langsung terbang kemari pagi tadi."

Eris mengerutkan kening bingung. "Kabar apa?"

Om Bram mencubit hidung Eris dan tersenyum jail. "Sejak kapan kau menyembunyikan sesuatu dari Om?"

Eris semakin bingung. Tidak ada yang Eris sembunyikan dari omnya, kecuali tentang Tante Lina dan Elin yang sering mengganggunya.

"Semalam, Om mendapat kabar dari salah seorang teman Om di sini. Dia datang ke pesta pembukaan hotel Carlson dan dia melihatmu bersama putra bungsu Carlson itu," terang Om Bram, membuat mata Eris membulat.

"Aku ... kami ..." Eris tak tahu bagaimana harus menjelaskannya.

"Teman Om berkata bahwa kalian tampak sangat dekat. Anak itu, apakah dia ... pacarmu?" selidik Om Bram.

Eris bisa merasakan wajahnya memerah. Ia tak tahu bagaimana harus menjelaskannya pada omnya itu, tapi kemudan, Om Bram tertawa seraya mengacak rambutnya.

"Om sempat khawatir kau tidak akan punya teman, atau pacar, setelah kejadian dua tahun lalu itu," ucap Om Bram. "Om lega jika kau punya teman, dan ... pacar, seperti putra Carlson itu. Meskipun menurut teman Om itu, ada kabar tidak sedap tentangnya di sekolah, tapi semalam dia menunjukkan kredibilitasnya sebagai calon pemimpin yang baik. Apakah Om bisa tenang jika kau bersamanya?"

Eris menatap omnya itu dan tersenyum untuk menenangkannya. Ia tahu Om Bram sangat mengkhawatirkannya.

"Om tidak perlu khawatir. Kai akan menjagaku dengan baik. Dia memang suka membolos, tapi kurasa itu karena dia harus membagi waktu antara sekolah dan hotel keluarganya itu. Dia ... anak yang bertanggung jawab. Jadi, Om tidak perlu khawatir," ucap Eris, berusaha seyakin mungkin, bahkan meskipun ia tak begitu yakin dengan kata-katanya sendiri.

Tapi ketika melihat senyum lega di wajah Om Bram, Eris tahu ia baru saja melakukan hal yang tepat. Saat ini, meskipun ia harus mengucapkan kebohongan, asal itu bisa membuat Om Bram tenang, ia tidak peduli. Om Bram sudah terlalu lama menyibukkan diri dengan mengkhawatirkan Eris. Dengan semua pekerjaannya di perusahaan, tidak seharusnya dia memikirkan Eris terlalu banyak seperti ini. Lagipula, Eris tidak ingin membebani Om Bram terus-menerus. Ia sudah cukup bersyukur karena memiliki Om Bram, ketika ia sudah kehilangan segalanya. Setidaknya, ia masih punya alasan, selain penyesalannya, untuk tetap bertahan.

Wolf and The Beauty (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang