55 - The Lost Pieces

88 20 2
                                    

55 – The Lost Pieces

2 tahun kemudian ...

"Sampai kapan kau akan terus begini?" desahan lelah Gavin itu membuat Kai menoleh dari apa pun yang sedari tadi menjadi pusat perhatiannya.

Kai tersenyum kecil. "Kau sudah bertemu Selyn? Apa katanya? Bagaimana perkembangannya?" rentetnya.

Gavin menghela napas berat. "Agraphia dan Alexianya semakin membaik. Selyn memintaku menyampaikan pesan terima kasih dari Om Bram, untuk benda-benda yang lagi-lagi kau kirim untuknya, karena benda-benda itu sangat membantu Eris dalam proses belajarnya. Dan juga, semua gambar-gambar yang kau siapkan di kamar itu benar-benar membantunya.

"Berkat kamar yang kau siapkan itu juga, dia belajar lebih cepat untuk mengenali nama-nama benda di sekitarnya. Kondisi tubuhnya juga sudah lebih kuat dan dia nyaris bisa melakukan semuanya sendiri sekarang."

Kai mendesah lega. "Dan ... ingatannya?"

Gavin kembali menghela napas berat saat menggeleng. "Dari Dokter Bian, Selyn mendengar bahwa itu akan sedikit sulit. Karena sepertinya ... alam bawah sadar Eris terus membuatnya menghindari ingatan masa lalunya. Dokter Bian mengatakan, kenangan yang menyakitkan di masa lalu Eris ... jika dia bisa mengalahkan ketakutannya, mungkin ingatannya akan kembali."

Kai kembali menatap gadis yang sedang duduk di bangku taman rumah sakit itu, dan mendesah berat. Ketika gadis itu tersenyum saat seekor kupu-kupu melintas di depannya, Kai tak dapat menahan senyumnya.

"Mungkin begini lebih baik," ucapnya. "Akulah orang yang menyakitinya, dan membuatnya menjadi seperti ini. Kurasa memang lebih baik jika dia tidak mengingat semua itu."

"Lalu bagaimana denganmu?" tuntut Gavin. "Sampai kapan kau akan seperti ini? Berapa tahun lagi kau akan melewati hari-hari seperti ini? Menjadi bayangannya, tanpa pernah bisa muncul di hadapannya ..."

"Kau tahu, Vin?" Kai memotong. "Beberapa kali aku berpikir, apakah aku ingin ingatannya kembali, dan dia mengingatku lagi, lalu akhirnya membenciku karena membuatnya seperti ini?"

"Kau tahu dia tidak akan melakukannya. Dia melakukan itu karena ..."

"Justru itu," Kai kembali menyela. "Jika dia mengingatku dan membenciku, setidaknya aku akan merasa sedikit lega. Jika dia begitu membenciku hingga tak memaafkanku, itu juga akan membuatku merasa lebih baik. Menggelikan bagaimana aku sempat berpikir bahwa itu adalah hukuman yang harus kuterima."

"Kai ..."

"Itu bahkan terlalu ringan untuk hukumanku, setelah apa yang kulakukan padanya," lanjut Kai. "Tapi dengan begini, dengan melihat gadis itu tersenyum di depanku, hidup dengan baik di hadapanku, tanpa diriku, dan bahkan tanpa ingatan tentangku, kurasa inilah hukuman yang harus kuterima. Bahkan meski selamanya, aku harus hidup seperti ini, aku tidak akan keberatan. Setidaknya, dia tidak perlu terluka lagi karenaku, dan ... dia bahkan tidak perlu memaafkanku."

Gavin menatap Kai dengan sedih mendengar penuturannya itu. Tapi ia tahu, bahkan meskipun Kai harus menjalani kehidupan seperti ini untuk selamanya, sahabatnya yang bodoh ini tidak akan merubah keputusannya. Tanpa sedikit pun mempertimbangkan perasaan Eris yang begitu dalam padanya.

***

"Apa kau tahu betapa anehnya perawatmu itu?" tanya Elin begitu ia menutup pintu kamar Eris di belakangnya.

Eris mengangkat alis. "Siapa? Alia?"

"Siapa lagi? Sejak kau masih koma di rumah sakit, hingga hari ini, dia begitu setia menjadi perawatmu. Kudengar dua tahun lalu dia sudah menikah, tapi kurasa dia lebih sibuk mengurusmu daripada mengurus keluarganya," cerocos Elin.

Wolf and The Beauty (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang