44 - I'm a Wolf

101 20 2
                                    

44 – I'm a Wolf

Kai menekankan jemarinya di tuts-tuts putih, membuat melodi sederhana yang cukup menyenangkan, membuat Eris tersenyum geli. Kai menoleh dan lega mendapati gadis itu tersenyum. Ia sempat khawatir ketika Eris menjadi begitu mengkhawatirkan saat sarapan tadi. Eris tidak pernah semuram itu jika berhadapan dengan makanan kesukaannya.

"Aku tak pernah bisa memainkannya," aku Eris.

"Cobalah," Kai berkata pada Eris.

Eris menunjuk dirinya sendiri, Kai mengangguk. Gadis itu menatap tuts-tuts piano dengan penasaran. Tapi kemudian, tangannya mendarat di sana, menekan salah satu tuts putihnya. Kai tak dapat menahan senyum karenanya.

"Apakah ini lebih mudah dari bermain gitar?" Eris bertanya seraya menekan tuts lainnya.

"Apakah kau bisa bermain gitar?" Kai balik bertanya, penasaran kenapa Eris bertanya seperti itu.

Eris menatap Kai, menggeleng. "Ayahku. Ayah bisa bermain gitar dan piano dengan sangat baik. Ibuku selalu bilang, itulah alasan ibuku jatuh cinta pada ayahku. Ibuku selalu senang membuat ayahku kesal karena alasannya itu," suara Eris terdengar geli. "Tapi di lain waktu, Ibu berkata bahwa cinta tidak membutuhkan alasan. Dan dia selalu mengatakan itu jika ayahku tidak bersama kami."

Kai memperhatikan sorot bahagia di mata gadis itu ketika bercerita tentang orang tuanya. Kai senang, karena Eris bisa membicarakan tentang orang tuanya tanpa penyesalan. Mungkin akhirnya, gadis itu benar-benar bisa berdamai dengan kepergian orang tuanya. Meski ia tetap berkeras untuk menerima hukumannya, tapi setidaknya, ia masih bisa tersenyum ketika mengenang saat bahagia bersama orang tuanya.

"Ayahku selalu ingin mengajariku bermain piano, tapi aku bukan orang yang mau bersabar. Aku masih mau belajar bermain gitar. Tapi ketika bermain piano ... kau tahu, aku selalu merasa terlalu ..."

"Feminin," Kai menyebutkan kata terakhir yang agaknya sulit disebutkan Eris itu. "Apa lantas kaupikir, laki-laki yang bermain piano itu juga ..."

"Tidak, tidak," cegah Eris. "Berbeda kasus jika yang bermain laki-laki. Kau tahu, jika aku bermain piano, itu membuatku merasa seperti bukan diriku. Ayahku selalu berkeras agar aku mau memakai gaun dan bermain piano di salah satu pesta perusahaan. Aku pernah melakukannya sekali, hanya sekali, saat ulang tahun pernikahan orang tuaku. Itupun aku hanya memainkan satu lagu yang paling mudah untuk kumainkan.

"Aku bermain piano dengan sangat payah. Tidak seperti ayahku. Aku selalu berpikir, laki-laki yang bisa bermain piano itu ... keren. Seperti ayahku. Aku selalu kagum jika melihat ayahku bermain piano. Aku bahkan pernah berkata pada ayahku, bahwa kelak aku akan mencari laki-laki yang bisa bermain piano sehebat ayahku," ungkap Eris dengan wajah tersipu.

Kai tak dapat menahan senyum gelinya. Jadi, jika Kai bisa bermain piano, maka Kai akan tampak keren di mata Eris? Pada akhirnya, Eris akan mengakui bahwa Kai cukup keren? Pikiran itu membuat Kai menjadi lebih bersemangat.

"Bagaimana jika kau bermain lagu itu untukku, setelah itu aku akan memainkan satu lagu untukmu?" tawar Kai.

Eris memanyunkan bibirnya ketika menatap Kai. "Apa kau ingin menertawakan aku?"

Kai tertawa pelan, menggeleng.

"Belum apa-apa kau bahkan sudah tertawa," rengut Eris.

"Aku tidak menertawakanmu," dusta Kai.

Eris semakin merengut.

"Aku tidak akan menertawakanmu, aku berjanji," kata Kai sungguh-sungguh. "Ayolah, mainkan satu lagu, lagu yang paling mudah yang bisa kau mainkan."

Wolf and The Beauty (End)Where stories live. Discover now