Bab 2 - Penciuman yang Tajam

19.1K 2.8K 162
                                    

Seminggu berlalu sejak kepergian para tetangganya. Sekarang Nora melihat beberapa mobil pengangkut yang sama datang dengan empat sedan hitam. Nora memerhatikan dari jendela kamarnya di lantai dua. Sama seperti minggu lalu, kali ini pun rumah tetangganya secara serempak diisi oleh penghuni baru.

Mereka terlihat normal-normal saja. Namun yang aneh, para tetangga barunya itu nampak saling mengenal. Mereka tersenyum, mengobrol dengan akrab, dan bahkan rela membantu memindahkan barang-barang. Nora mengernyit heran. Apa para tetangga baru itu adalah satu keluarga besar? Jadi, karena itu mereka ingin membeli semua rumah di wilayah tersebut?

BRAK!

Nora seketika terlonjak kaget ketika mendengar pintu kamarnya dibuka dengan kasar. Ia menoleh dan langsung memberikan tatapan tajam pada tersangka yang tak lain adalah adiknya.

"Mom menyuruhmu ke bawah," ucap Dylan dengan mata setengah menutup. Lelaki itu menggaruk rambutnya yang berantakan dan sesekali menguap.

"Bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu?" tanya Nora gemas. Beruntung ia tak punya riwayat penyakit jantung.

"Kenapa?" Dylan balik bertanya. "Kau sedang mengintip tetangga baru?" Senyum jahil seketika terpatri di wajah tegasnya.

Nora baru saja bersiap melempar Dylan dengan jam weker, tapi lelaki itu lebih dulu melarikan diri. Ia menghela napas, meredakan emosinya. Lalu beranjak pergi menuju dapur. Entah kenapa firasatnya jadi tak enak.

Setelah sampai di tangga paling bawah, Nora menengok ke arah dapur dan melihat ibunya sedang membuat kue kering sambil bersenandung ria. Langsung saja ia bergidik ngeri. Tidak biasanya Nyonya Woods itu membuat kue di hari yang bahkan tak tercatat sebagai hari perayaan. Nora yakin tak ada acara apapun hari ini.

"Nora, Mom tahu kau ada di sana. Jangan bersembunyi dan cepat kemari."

Nora tak bisa menahan keterkejutannya. Ia melongo dengan kaki yang otomatis berjalan menghampiri sang ibu. Hebat! Bahkan ibunya itu tidak menoleh sama sekali ke arah Nora, tapi bagaimana bisa dengan mudahnya wanita berambut coklat tersebut mengetahui keberadaannya?

Jika Nora ingat lagi, hanya ayahnya yang bisa menebak di mana ia dan Dylan bersembunyi, bahkan jika itu di lemari dapur sekali pun. Itu juga karena ayahnya memiliki penciuman yang tajam. Hal tersebut juga sebenarnya menurun pada Nora dan Dylan. Namun, Nora tak menyangka ibunya juga memiliki keanehan tersebut. Nora curiga jika ayahnya telah mengajarkan sang ibu jurus rahasia.

"Ayo cepat sini, jangan melamun terus." Wanita yang memiliki nama lengkap Meera Woods itu berkacak pinggang dengan tatapan memerintah.

Nora mengalihkan pandangan ke arah kue yang tertata rapi di atas empat piring. Lagi-lagi gadis itu hanya bisa melongo, tapi kemudian meneguk ludah dengan gugup.

"Mom tidak menyuruhku mengantar kue-kue ini pada tetangga baru, kan?" Nora dengan rambut coklat mahoninya menatap Meera, memelas.

"Seperti yang Mom duga, kau sudah tahu. Jadi sekarang cepat antarkan kue ini pada tetangga baru kita." Meera hampir saja memekik karena senang, mengabaikan ekspresi anaknya yang sudah tak karuan.

"Kenapa tidak Dylan saja?" Nora mulai merengek sambil mencomot kue di atas piring—tentu saja yang bukan milik tetangganya.

"Dylan baru bangun. Dan bukankah kau yang suka menebar senyum pada tetangga kita? Bahkan sampai ikut menginap di rumah mereka," ucap Meera dengan nada sedikit mengejek.

Nora segera saja menelan kue di mulutnya, melebarkan mata tanda siap untuk memprotes. "Aku seperti itu hanya pada tetangga lama kita. Kalau ini berbeda!"

"Sudah, cepat antarkan! Atau Mom sita mobil kesayanganmu!" Meera tersenyum miring ketika melihat anaknya tak bisa berkata-kata lagi

Nora mendengus sebal dan terpaksa menuruti kemauan Meera. Kalau saja jarak rumah dan kampusnya dekat, ibunya tak akan bisa mengancam Nora dengan mobil kecil itu.

"Baiklah, baiklah. Mom menang." Nora mengambil air mineral dan meneguknya, kemudian ia berlari cepat menuju cermin besar di ruang keluarga.

Ia melihat dengan teliti penampilannya. Rambut dikepang dua seperti ciri khasnya, baju santai yang sedikit kebesaran, dengan celana pendek sedikit di atas lutut. Oke, ini penampilan terbaik Nora ketika belum mandi.

Ia lalu mencium bau keteknya sendiri. "Wow, bagaimana bisa aku sebau ini?" Nora segera menjauhkan wajahnya, kemudian mengedikkan bahu tak peduli. "Lagipula tetangga baru itu tidak akan tahu aku sudah mandi atau belum," ucapnya dengan cuek. Ia kembali melangkah ke arah dapur dan mengambil sebuah piring berisi kue. Bibirnya tertarik dengan kaku, menyiapkan senyuman terbaik untuk tetangga barunya.

Lalu, di sinilah Nora sekarang. Suara bel terdengar setelah dia menekan tombol putih itu. Sambil menunggu, Nora mempertahankan senyuman robotnya. Mata hijau Nora melirik perlahan ke arah papan kecil di samping pintu.

Keluarga Rickman

Tak berselang lama, pintu pun terbuka. Terlihat seorang pria paruh baya berambut hitam menyambutnya. Seketika keringat bercucuran saat melihat tatapan serius pria itu. Persis seperti dosennya jika sedang memilih mahasiswa untuk jadi sasaran empuk pembahasan minggu lalu.

"Siapa?"

Nora segera meneguk ludahnya dengan gugup. Ia mengangkat sedikit piring kue. "Mom menyuruhku memberikan ini. Ucapan selamat datang," ucapnya dengan senyum kikuk.

Tanpa diduga, pria itu ikut tersenyum. Berubah 180 derajat dari ekspresi sebelumnya. "Oh, tentu saja. Kue, kami suka kue."

Pria—yang mungkin harus Nora panggil Mr. Rickman—mengambil piring berisi kue dari tangannya. Diam-diam Nora menghela napas lega. Beruntung tetangga pertamanya itu sangat ramah.

"Ingin mampir?"

Nora cepat-cepat menggeleng. "Tidak, terima kasih."

Mr. Rickman terdiam, seperti sedang berpikir. Membuat Nora sendiri penasaran. "Ah, karena kau harus mandi ya?"

Nora melongo dengan pandangan bingung. Pria paruh baya di depannya itu terus mengangguk-anggukkan kepala, seolah mengerti akan suatu hal.

"Ma-mandi?" Nora tergagap. Mengingat fakta bahwa dirinya memang belum mandi, membuat ia gelagapan panik. "A-apa sebau itu?"

"Hahaha. Saya memang punya penciuman yang tajam." Mr. Rickman tertawa canggung.

Rasanya Nora ingin sekali menjedotkan keningnya ke tembok sekarang juga. Ia menatap Mr. Rickman dengan wajah memerah. Hanya tawa garing yang saat ini bisa menutupi rasa malunya. "Benar, hahaha. Saya harus mandi." Nora perlahan melangkah mundur. "Kalau begitu, saya permisi dulu."

Pria paruh baya di depannya itu mengangguk dengan senyum ramah. Tanpa menunggu lama lagi, Nora langsung berlari sekencang mungkin menuju rumahnya. Sungguh kejadian memalukan. Nora terus merutuki dirinya. Bagaimana bisa dia pergi menemui tetangga barunya dan belum mandi? Kenapa juga Mr. Rickman harus memiliki penciuman yang tajam? Berarti, sejak tadi Nora memang sebau itu. Ingin sekali ia menceburkan dirinya ke laut atau bersembunyi di gua-gua.

"Nora? Kau mau ke mana?" Meera berteriak, menatap heran anaknya yang berlari begitu saja menaiki tangga. "Masih ada kue—"

"Mandi! Nora belum mandi, Mom!" teriak gadis itu dengan terbirit-birit. Sepertinya Nora tak bisa memunculkan batang hidungnya lagi di depan keluarga Rickman. Ia sangat malu.

—Bersambung—

Wah gimana tuh? 😁😁😁 Feelnya kerasa ga ya? Jangan lupa vote comment 😘 terima kasih. Maaf kalau garing.

Salam fiksi, Saelsa White

City of Moroney PackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang