00:06 BLUSHING

278 11 0
                                    

"Ini nggak kurang banyak lagi, Pak?"

Ajun menoleh ke sumber suara, tapi dia tidak menemukan orang yang berbicara. Orang itu tertutupi oleh tumpukan kardus di tangannya.

"Masih kurang? Sebentar, saya tam-"

"BUKAN GITU, PAK! BAPAK MAH NGGAK PERNAH PEKA SAMA KODE DARI SAYA!"

Ajun meletakan kardus di atas meja.

Dia mengangkat sebelah alisnya, bingung.

"Maksud kamu?"

Kiran menjerit sebal, "MANA ADA COWOK YANG NYURUH CEWEK BAWA KARDUS SEBANYAK INI?! SAYA SUSAH LIHAT JALAN, PAK! KALO NABRAK ORANG KAN BAHAYA!"

Seumur hidup, baru kali ini Kiran bertemu dengan manusia yang sangat tidak peka.
Tiba-tiba Kiran menjadi cemas dengan istri Ajun di masa depan. Entah dosa apa yang membuat perempuan itu menjadi istrinya.

Ajun tersenyum kecil, melihat Kiran yang kesulitan menyeimbangkan empat kardus berukuran besar di kedua tangannya.

"Bapak mah tega banget sama saya."

Ajun mengambil dua kardus dari Kiran. Kini dia bisa melihat wajah Kiran yang terlihat sangat kesal. Ralat, kelewat kesal. Lihat saja lubang hidungnya yang kembang kempis cepat.

"Sekarang gimana? Bisa lihat?"

Kiran tertegun sesaat. Mereka sangat dekat. Bahkan Kiran bisa mencium aroma mint segar dari napas yang keluar dari mulut Ajun. Kedua pipi Kiran mendadak panas saat melihat bibir tipis milik Ajun. Kiran bergegas keluar dari ruangan tersebut. Meninggalkan Ajun yang dibuat heran dengan perubahan sikap Kiran tersebut.

Kiran menggeleng tegas. Pipinya masih saja terasa panas. Matanya melebar saat melihat cermin di dekat mading, cewek itu berlari menuju mading tersebut.

Dia memperhatikan perubahan warna kedua pipinya. Semburat merah muda terlihat jelas. Kiran berdecak sebal.

"Sialan. Kenapa jadi kek orang demam gini?"

...

"Maafin kita, yak." Bisik Raya.

Gita yang duduk di belakang kursi Kiran ikutan mengangguk setuju. Gadis itu benar-benar merasa sangat bersalah dengan Kiran.

Sejak kelas dimulai, Kiran tidak bicara barang satu patah kata. Hal itu sukses membuat Gita dan Raya frustasi.

Diam-diam Kiran tersenyum iblis.

"Teraktir gue boba. Nanti gue maafin."

Gita dan Raya berdecih.

"Mencari keuntungan di saat kesulitan. Sialan."

"Dasar perut karet."

Kiran hanya cengir kuda.

"Beres gibahnya? Kalau nggak mau belajar di kelas saya, silakan keluar. Jangan ganggu yang lainnya. Mengerti?"

Kiran, Gita dan Raya mematung berjamaah.

Mereka menjadi benar-benar diam.

"Baik. Tugas kali ini adalah tugas kelompok. Bapak ingin kalian semua merubah kardus ini menjadi sebuah barang yang bernilai aesthetic juga berguna di kehidupan sehari-hari. Minggu depan, Bapak harap sudah bisa dikumpulkan."

"Baik, Pak."

"Bapak akan memberikan nilai C jika kalian tidak mengerjakan projek ini. Mengerti?"

Semua orang menelan ludah.

"Mengerti, Pak."

Kiran menggeleng kepala pelan.

"Nilai dijadikan bahan ancaman terus. Sialan."

"Semoga, suami gue kelak nggak kayak dia."

"Amin."

Kiran tersentak saat tiba-tiba tatapan matanya bertemu dengan netra hitam legam itu. Kiran menelan ludah ngeri. Perasaannya menjadi tidak enak.

"Kiran, nanti ke ruangan saya."

"Ngapain, Pak?"

"Ada hal penting yang harus saya sampaikan."

Lagi-lagi Kiran menelan ludah ngeri.

"Hal penting apaan anjir?!"

"Yakali doi mau nembak gue?!"

"Otak gue traveling! Sialan."

MR. ARDJUNA RIGHT [SELESAI]Where stories live. Discover now