PENGHILANG PENGAR

201 12 0
                                    

"Sudah siang?"

Pertanyaan itu lolos saat mata Ajun terbuka sempurna. Kepalanya masih saja terasa berputar, rasanya dia ingin sekali melanjutkan acara tidurnya. Matanya terbelalak saat merasakan empuknya busa dari kasur dan hangatnya sebuah selimut yang menutupi seluruh badannya. Sedangkan, dia ingat betul jika kemarin malam dia jatuh ke lantai dan setelah itu dia tidak mengingat apa-apa.

Penuh rasa takut, Ajun menoleh ke samping. Dia tidak menemukan Kiran di sebelahnya. Lelaki berambut acak-acakan itu terlihat menghela napas lega, merasa akan selamat dari amukan Kiran. Namun, saat dia beringsut duduk dan bersandar pada kepala kasur dia membeku saat menemukan Kiran tengah duduk manis menatapnya di meja belajarnya. Jangan lupakan tatapan sinis bin horor itu. Ajun berniat hendak tidur lagi namun suara Kiran menghentikannya.

"Sudah bangun, sayang?"

Ajun meringis, kembali duduk dengan benar.

Kiran menatap penuh cemas lelaki itu, "Bapak udah bangun, kan? Kepalanya masih pusing? Perlu saya buatkan sup penghilang pengar?!" Nada bicara Kiran dimulai dengan nada lembut sampai nada galak di akhir.

Ajun menyatukan kedua telapak tangannya.

"Maafkan saya, Kiran. Kemarin saya sedang tidak fokus-"

"Sampe nggak bisa bedain mana miras mana air putih gitu? Bapak kira saya sebodoh itu apa?! Bapak sengaja mau buat saya terlihat bodoh di mata Ibu Mertua? Jujur aja, Pak!"

Ajun menggeleng tegas.

"Nggak, sayang. Saya berani bersumpah, semalam itu nggak disengaja. Beneran."

"Pertanyaan saya gini, Pak. Kenapa mabok kalo nggak kuat minum? Please, lain kali kalo mau mabok jangan repotin orang lain. Bapak nggak kasian apa sama Ibunya Bapak jadi encok gara-gara bantu angkat badan Bapak ke kasur? Saya malu banget, Pak!"

"Astagfirullah! Ibu ke sini? Ngapain?!"

"Niatnya sih mau makan malam. Tapi, gara-gara Bapak tepar semuanya gagal!"

Ajun menjadi serba salah. Dia mengusap wajah frustasi. Pertama, dia masih pusing. Kedua, ocehan Kiran membuatnya semakin pusing. Sejujurnya, dia masih belum mengingat jelas apa yang sebenarnya terjadi semalam.

Kiran menatap Ajun penuh derita.

"Bapak nggak kasihan sama saya? Saya diintrogasi sama Mama dan Ibu Mertua. Seakan-akan tuh saya yang salah di sini."

Ajun bingung harus merespon apa.

Tanpa Kiran sadari, air matanya menetes. "Kata Ibu Mertua, Bapak kayak gini gara-gara sedih. Bapak sedih karena saya?" Tanya Kiran, jangan lupa isakan kecil diakhir kalimatnya.

Ajun menatap sendu istrinya, dia turun dari kasur dan mendatangi Kiran. Duduk di sebelah Kiran, membawa Kiran dalam dekapannya. Ajun mengelus lembut punggung Kiran, membuat tangisan Kiran semakin pecah.

"Kata siapa saya sedih karena kamu?"

"Kata Mama saya sendiri, Pak."

"Mama kamu sepertinya bercanda. Mungkin."

Kiran melingkarkan tangannya pada pinggang Ajun, memeluknya sangat erat seakan tidak ingin melepaskannya. Kiran menumpahkan segalanya. Rasa sakitnya, kecemasannya.

"Saya minta maaf, Kiran. Sudah merepotkan kamu. Maaf kalau saya terlalu egois dan tak mendengarkan keinginan kamu dulu."

Kiran melepaskan pelukannya, menatap Ajun dengan mata sembabnya. Kiran menangkup kedua pipi chubby suaminya, "Saya pengen nunda dulu, Pak. Masih pengen fokus kuliah. Kalau sekarang-sekarang, memang Bapak bisa ngurusnya kalau saya ada jadwal kuliah? Bapak mau titipin ke Mama atau Ibu Mertua gitu? Kasian mereka, Pak." Kiran mencoba menjelaskan dengan baik-baik. Namun Ajun hanya menunjukkan wajah polosnya saja, seakan tidak mengerti dengan arah pembicaraan Kiran.

Diam-diam Kiran tersenyum iblis. Kiran bergeser dari duduknya, pindah ke pangkuan Ajun, membuat lelaki itu kaget setengah mati.

Kiran mendekatkan wajahnya pada wajah Ajun, sekarang mereka berhadapan dengan hidung yang sudah beradu. Kiran tersenyum lebar, "Dua tahun setengah. Masih bisa sabar kan, sayang? Saya-masih belum siap, Pak."

Tangan Ajun bergerak menggenggam telapak tangan Kiran, menyimpannya di depan dada.

"Cuti dulu bisa kan?" Tawar Ajun.

Kiran menggeleng.

"Kalau hari ini kita bolos gimana?" Tanya Ajun.

"Mau ngapain emang?" Tanya Kiran, polos.

Ajun membuka kancing atas piyama Kiran. "Kalau latihan dulu, gimana? Dikeluarin di luar."

Kiran menatap horror Ajun.

"Mandi. Kerja. Cari duit. Belikan saya berlian. Nanti, baru saya kasih jatah. Untuk sekarang-" Ucapan Kiran terpotong saat Ajun nyosor, menyumpal mulutnya dengan bibirnya.

Kiran memukul dada bidang Ajun, membuat tautan mereka terlepas. Mereka menghirup banyak sekali oksigen untuk menetralkan pernapasan mereka. Lagi-lagi Kiran menatap horror suaminya, "Bapak mau bunuh saya?"

Yang ditatap hanya cengir dan kembali melanjutkan aksinya. Awalnya, Kiran menolak. Namun, akhirnya dia ikut melayang dalam permainan Ajun.

MR. ARDJUNA RIGHT [SELESAI]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt