SHOPPING 3

149 8 0
                                    

"Jadi, ini yang dinamakan shopping?"

Sudah dua jam Ajun mengekori Kiran di toko makeup ini. Namun, Kiran masih saja belum menemukan barang yang diinginkannya.

"Huh? Apa, Pak?"

Ajun menggeleng cepat. Kalau Kiran dengan bisa gawat. Pastinya dia akan makin ngambek! Ajun memilih jalan yang aman, ia menggeleng.

"Nggak. Saya nggak ngomong apa-apa."

"Kirain apa. Bapak mau beli masker?"

"Masker? Saya punya banyak di rumah."

"Bukan masker medis, Pak. Tapi, masker ini."

Kiran menunjukkan deretan masker beraneka jenis, merek, juga warna pada Ajun. Mata Ajun langsung sakit melihat semua itu, Bapak Dosen menyentuh keningnya.

"Sayang, shoppingnya masih lama?"

Kiran mengangguk polos.

"Iya. Kenapa? Bapak mau pulang?"

"Memangnya boleh? Kamu kan belum beres."

"Nah, itu tau. Nggak bakal saya izinin pulang, sebelum saya nemuin pengganti lipstik yang Bapak pecahin kemarin!"

Ajun menggenggam tangan Kiran erat, "Maafin saya, ya? Lain kali, saya akan lebih hati-hati lagi. Jangan menghukum saya seperti ini lagi."

Kiran menatap malas Ajun.

"Ini yang saya tunggu-tunggu. Ayo ke kasir."

"Loh? Kamu cuma pengen denger saya minta maaf gitu? Kamu mempermainkan saya tadi?"

"Apa? Mempermainkan? Bukannya yang salah di sini itu Bapak, ya? Kenapa jadi Bapak marah sama saya?" Ujar Kiran, sedih.

Ajun menatap bingung Kiran. Dia benar-benar diuji kesabarannya. Tadi marah dan sekarang sedih? Datang bulan benar-benar sebuah bencana dan dia harus menghadapinya setiap bulan!

Ajun merangkul pinggang Kiran, mereka berdiri berdampingan. Ajun membawa Kiran berjalan menuju kasir. "Hari ini, kamu boleh beli apa yang kamu inginkan. Mau apa lagi?"

Senyum Kiran langsung terbit.

"Beneran, Pak?"

Ajun mengangguk tanpa ragu.

"Saya nggak suka bohong, kan?"

Kiran memeluk Ajun erat, perasaan senangnya kembali meluap-luap. Sampai mereka menjadi perhatian orang-orang yang ada di toko itu.

"Loh, Pak Ajun?"

Mereka berdua menoleh ke sumber suara. Ajun tersenyum kaku saat menyadari keberadaan salah satu rekannya di kampus, Bu Rini.

Kiran yang tidak mengenal orang itu menuntut jawaban pada Ajun. Ajun mendekati telinga Kiran dan membisikan sesuatu.

"Beliau rekan saya di kampus."

Kiran melotot tidak percaya. Lantas bergerak menjauh dari Ajun. Tapi, sebelum benar-benar terlepas Ajun semakin mengeratkan rangkulannya membuat Kiran menatapnya tajam.

"Selamat malam, Bu. Belanja juga?"

"Malam, Pak Ajun. Iya. Itu pacarnya, Pak?"

Ajun menggeleng pelan.

"Bukan. Ini, istri saya." Ajun menoleh singkat ke Kiran, sedangkan Kiran memasang wajah tak percaya. "Namanya Kiran, salah satu mahasiswi di kampus kita."

Bu Rini memandang Kiran dari atas samapai bawah, membuat Kiran merasa risih dengan tatapan sinis itu.

Kiran yang tidak suka diperlakukan seperti itu langsung saja beraksi. Dia memeluk Ajun mesra di depan Ibu Dosen itu! Wajah Kiran berubah sinis saat melihat keterkejutan pada wajah wanita tua itu.

"Kenapa, Bu? Mau melanjutkan aktivitasnya? Silakan. Kami berdua duluan. Selamat malam. Ayo, sayang. Kita pulang." Ujar Kiran dengan menekankan kata 'sayang' membuat Ajun setengah mati tidak tertawa.

Ajun menunduk singkat, memberi hormat.

"Kami duluan, Bu. Permisi."

Sepertinya, mood Kiran sudah baikan.

...

Ajun menarik kembali perkataannya.

bukannya merasa lebih baik, mood Kiran malah semakin buruk. Sekarang, Ajun tengah duduk bersila di atas kasur berhadapan dengan Kiran yang serius memasangkan masker yang tadi dibelinya. Ajun memasang wajah penuh derita saat Kiran mulai cekikikan. Pasalnya, bukan hanya masker yang dipakaikan tapi juga lipstik merah merona dan sebuah kunciran mirip rambut Upin di tengah-tengah kepalanya.

"Sepertinya, harga diri saya sebagai dosen sudah hancur. Lebih tepatnya dihancurkan istri saya sendiri. Kamu senang?"

Kiran menahan tawanya dengan menutup mulut. Dia mengangguk sangat bersemangat. Pasalnya, dia hari ini dia benar-benar merasa puas telah menjahili Pak Ajun.

Ajun yang bahagia mendengar suara tawa Kiran juga ikutan tertawa. Dia memasang wajah konyol yang membuat perut Kiran semakin tergelitik sampai Kiran terjungkal ke belakang.

Ajun mengasihani dirinya sendiri. Tapi, demi membuat istrinya tertawa apapun rela lelaki itu lakukan. Tawa Kiran sangat berharga baginya. Karena, kebahagiaan Kiran adalah kebahagiaannya juga.

Ajun berhenti tertawa saat baru menyadari pakaian yang Kiran gunakan. Istrinya hanya menggunakan sebuah kaos tipis dengan sebuah tali yang ada di kedua pundaknya.

"Kenapa berpakaian seperti ini?"

"Gerah. Males ganti baju."

Kiran beringsut, menjadi bersandar pada kepala kasur. Kakinya diselonjorkan, mengapit Ajun yang masih duduk bersila seperti petapa.

Kiran tersenyum menggoda.

"Kenapa? Nggak suka? Kalo gitu, saya ganti baju dulu deh. Bapaknya aja nggak suka."

Sebelum Kiran turun dari kasur, kepala Ajun sudah bersandar pada dadanya. Ajun membawa badan Kiran pada pangkuannya, tidak lupa sepasang tangan itu melingkar di pinggang kecil milik Kiran.

"Suka. Saya suka. Tapi, jangan sampai ditunjukkan ke orang lain. Cukup saya."

Ajun mendongak, menatap wajah Kiran yang bersemu merah. Kiran menyimpan tangannya di atas bahu Ajun. Kiran mendaratkan kecupan singkat pada bibir Ajun. Dia tersenyum tipis.

"Jangan cemas, Pak. Hati saya hanya untuk Bapak seorang. Terima kasih kesabarannya."

MR. ARDJUNA RIGHT [SELESAI]Where stories live. Discover now