ARJUNA JUNIOR 1

205 8 0
                                    

"Tiramisu punya saya Bapak abisin?!"

Ajun kaget setengah mati, dia menoleh dan menatap tajam Kiran. Ajun menyentuh dada bagian jantungnya, masih jedagjedug tidak setabil.

"Nggak, saya kan nggak suka yang manis."

Kiran menatap malas Ajun.

"Terus, perut Bapak kenapa jadi melar gitu?"

"Astagfirullah. Melar dari mana, Kiran?"

Kiran menyibak kaos yang menutupi perut buncit Ajun. Kiran berdecak kecewa saat melihat perut Ajun yang berubah menjadi mengenaskan semenjak mereka menikah.

Ajun yang tidak suka auratnya diumbar kembali menutupi bagian perutnya. Ajun juga sedikit kaget melihat perutnya sendiri. Sixpack yang dulu dijaganya perlahan menghilang digerus manisnya tiramisu.

"Olahraga."

"Apa?"

"Olahraga, Pak. Kembalikan perut sixpackmu."

"Kenapa? Kamu-nggak suka cowok buncit?"

Kiran mengangguk polos.

"Papa saya yang udah tua aja masih ada sixpack. Lah, Bapak? Belum setengah umur Papa saya aja udah kayak ibu hamil."

Ajun meletakkan proposalnya. Dia menatap Kiran dengan tatapan campur aduk. Antara kesal dibilang buncit, sebal dibandingkan, tidak terima disebut ibu hamil.

"Mulai besok, saya diet."

"Olahraga, sayang. Bukan diet."

Ajun mengulum bibirnya, terlihat sekali jika Bapak Dosen kita ini sedang salah tingkah.

"Coba katakan lagi, Kiran."

Kiran menatap tidak mengerti Ajun. Lebih ke pura-pura tidak mengerti. Dasar Kiran. Suka banget goda Pak Ajun.

"Olahraga."

"Bukan yang itu."

"Olahraga. Bukan diet."

Ajun mencebik, "Sayangnya mana?"

Kiran terkekeh geli. "Apasih, Pak? Gaje! Kapan saya bilang kata itu? Sepertinya, Bapak lupa membersihkan telinga."

Lagi, Ajun hanya memajukan bibirnya sebal.

Kiran tidak sanggup menahan ketawanya.

"Saya mau cuci piring dulu, Pak."

Kiran hendak pergi, namun tangannya ditahan oleh Ajun. Kiran kaget saat Ajun menariknya, membuat Kiran duduk di atas pangkuan Ajun. Kiran menutup matanya, kaget. Sedangkan Ajun menatap jahil istrinya itu.

"Coba buka matanya sebentar."

Dengan ragu, Kiran membuka matanya. Dia tertegun saat melihat netra hitam legam itu. Wajah mereka benar-benar berhadapan. Bahkan Kiran mampu merasakan napas Ajun.

"Saya harus cuci piring, Pak."

"Kenapa?"

"Ya, biar nggak numpuk di wastafel."

"Bukan itu maksud saya."

"Terus, apa?"

Ajun tersenyum tipis saat melihat wajah polos Kiran. Sedangkan Kiran mati-matian untuk tidak terpesona pada Dosennya itu.

Tangan kiri Ajun yang bebas dari tangan Kiran bergerilya masuk ke dalam kaos Kiran. Sampai suara pengait itu terlepas membuat kesadaran Kiran benar-benar pulih.

"Bapak ngapain?"

Ajun mengecup singkat pipi Kiran, "Sudah dua bulan, Kiran. Kamu nggak inget? Atau, pura-pura lupa?"

Kiran mengangguk.

"Terus?"

Lagi. Ajun mengecup pipi Kiran. "Kamu nggak inget sama perkataan saya pas kamu pertama kali ke apartemen ini?"

Kiran menggeleng polos.

Ajun mengangkat tubuh Kiran, mendudukkannya di atas meja kerjanya. Ajun membelai lembut rambut Kiran penuh kasih sayang, sampai membuat Kiran melayang.

Ajun meletakan kedua tangan Kiran di lehernya, Ajun semakin mendekatkan tubuhnya pada tubuh Kiran.

"Apartemen ini terlalu sepi untuk kita berdua. Kamu nggak kepengen gitu punya Arjuna junior?" Tanya Ajun, to the point.

Kiran yang mendengarnya langsung terbatuk. Menatap tidak percaya pada suaminya itu. "Saya masih semester dua, Pak." Tegas, Kiran. "Belum magang, belum sidang, belum lulus. Kalau kuliah saya jadi berantakan, Bapak mau tanggung jawab?" Dia tidak habis pikir kenapa Ajun tiba-tiba saja membahas seorang anak. Bahkan, umur pernikahan mereka baru saja menginjak dua bulan. Apa Ajun tidak terburu-buru?

Ajun menatap Kiran dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Hatinya seakan tergores mendengar semua perkataan Kiran. Ini juga salah diri Ajun sendiri, membicarakan tentang hal yang sangat penting di saat moment seperti ini. Wajar saja jika Kiran sedikit 'marah' bukan, lebih ke kaget.

Ajun menunduk dalam, perlahan mundur dan menjauh dari keberadaan Kiran. Dia memungut kembali berkas proposal yang sempat ditunda tadi. Kiran yang melihat perubahan sikap Ajun menaikan sebelah alisnya.

Ajun terus saja menunduk, menatap ujung sandal rumahnya. "Maaf, Kiran," Sesalnya.

Kening Kiran semakin berkerut.

"Kenapa Bapak meminta maaf?"

Ajun tidak menjawab. Dia malah melengos, pergi dari hadapan Kiran. Meninggalkan Kiran yang masih duduk di atas meja kerjanya. Kiran menatap kepergian Ajun dengan mata sendu. Sebenarnya, Bapak Dosen tampan kita ini kenapa? Apa perkataan Kiran menyinggungnya?

Kiran merapikan bajunya, bergegas keluar dari ruang kerja Ajun. Saat berada di depan kamar, Kiran menatap pintu cokelat yang tertutup rapat itu. Sepertinya, Ajun sedang ingin istirahat, Kiran berusaha berfikir positif.

Suara bel membuat perhatian Kiran sempurna teralihkan. Kiran cukup kaget dengan suara itu, soalnya baru kali ini bel itu berbunyi. Siapa yang datang untuk bertamu malam-malam seperti ini? Tidak ingin berprasangka buruk, Kiran bergegas mendatangi pintu. Membuka pintu dan betapa terkejutnya saat melihat dua orang wanita paruh baya di hadapannya.

Kiran melemparkan senyum lebar pada mereka, memeluk erat keduanya bersamaaan. "Selamat malam, Mah, Bu. Kiran kangen banget sama kalian."

MR. ARDJUNA RIGHT [SELESAI]Where stories live. Discover now