00:09 PUBER 2

186 6 0
                                    

"Ada yang perlu gue obrolin."

"Tapi, Kakak siapa, ya?"

Gita dan Raya kompak menepuk jidat di belakang. Mereka benar-benar tidak habis fikir dengan jalan kepala Kiran.

Kiran juga, sepertinya dia baru melihat Dimas. Dia memanggil Kakak karena melihat sampul makalah yang ada logo semester limanya.

Dimas terkekeh.

Raya dan Gita yang berada di belakang sudah ambyar duluan. Suara tawa Dimas terdengar sangat merdu di telinga mereka berdua. Sedangkan Kiran tidak bereaksi sama sekali.

"Baru kali ini gue ketemu orang yang nggak kenal gue. Ya, salah gue juga belum ngenalin diri. Gue Dimas. Jurusan kedokteran, semester lima. Salam kenal." Ujar Dimas, manis.

Dimas mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. Namun Kiran tidak kunjung mengulurkan tangannya. Dia malah menatap bingung cowok berpakaian casual itu.

"Penting banget, Kak? Soalnya, gue ada kelas."

Dimas terlihat sangat syok. Begitu juga Raya dan Gita yang sedang mengumpat dalam hati.

"Oh, maaf. Nanti aja. Gue duluan."

Dimas melengos dari hadapan Kiran.

Kiran tersenyum malas.

"Maaf. Gue nggak suka cowok ganteng.
Sukanya, cowok berduit. Sekian terima-"

"KIRANA!!!!!"

...


"Pulang naik apa, lo?" Tanya Raya.

"Biasa. Abang ojol. Kenapa? Mau anter-"

"Sorry. Gue dijemput Bang ojol juga."

"Sialan."

Gita tersenyum saat sebuah mobil menepi.

"Eh, gue duluan. Kakak gue udah jemput."

Kiran dan Raya mengangguk.

"Hati-hati. Salam sama Kakak lo, ya!"

"Iya. Kalian juga hati-hati! Bye!"

Gita masuk ke dalam mobil tersebut. Tidak lama, mobil kembali bergerak, melesat melewati mereka berdua.

Kiran baru teringat sesuatu.

"Eh, Kakak Gita itu cewek apa cowok?"

Raya mengangkat bahu tidak tahu.

"Dia kan jarang bahas Kakaknya."

"Lo harus curiga. Siapa tau, Kakaknya itu ganteng. Dia sengaja sembunyiin biar lo gak bisa godain Kakaknya." Bisik Kiran, terdengar seperti bisikan setan di telinga Raya.

Raya berdecak.

"Kesannya tuh gue kayak cewek gak bener."

Kiran terkekeh.

"Tapi-"

"Abang ojol gue udah di depan, nih. Duluan!"

Kiran mendengus sebal. Belum sempat menjawab, Raya sudah tidak terlihat.

Kiran bersandar di pos satpam. Dia mendongak, menatap langit orange.

"Cantik." Bisik Kiran, pada dirinya sendiri.

Sebuah mobil hitam tiba-tiba berhenti di samping Kiran. Kiran menoleh, kaca jendela mobil terbuka. Kiran mendelik jengah.

"Saya antar pulang."

"Nggak. Sudah ada yang menunggu saya."

"Maksud kamu Bapak Ojol?"

Kiran menatap jengkel Ajun.

"Bukan urusan, Bapak. Silakan pergi."

"Kamu-marah sama saya?"

Diam. Kiran tidak menjawab. Sebenarnya, dia bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa juga dia menjadi sangat sensitive? Apa karena sikap kasar Ajun tadi pagi yang memancing ingatan itu kembali muncul?

Entahlah. Hanya mengingatnya saja membuat kaki Kiran terasa lemas. Sepertinya, dia butuh konsiltasi tambahan lagi.

"Kenapa kamu diam? Ayo, masuk!"

"Saya bilang nggak perlu, Pak. Bapak keras kepala banget, sih?! Saya bisa pulang sendiri."

"Ini bukan keinginan saya. Tapi, keinginan Mama dan Papa kamu. Saya tidak bisa menolak permintaan mereka."

"Kenapa nggak bisa?"

"Karena kamu adalah tanggung jawab saya."

Kiran mengernyit tidak mengerti.

"Bapak ngomong apaan, sih?"

Ajun mengusap wajah gusar.

"Tolong. Saya minta kerja sama kamu.
Bantu saya, jangan mempersulit saya."

"Saya. Nggak. Peduli. Bye!"

Baru lima langkah berjalan, sebuah tangan kekar menahan pergelangan tangan Kiran.

Kiran mendadak berhenti. Jantungnya berdetak lebih cepat dari kata normal. Aliran darahnya seakan berhenti mengalir. Lutut Kiran terasa lemas lagi. Bulir keringat sebesar butir jagung mendadak memenuhi keningnya.

Kiran menelan ludah ngeri.

"Gue-diculik?"

MR. ARDJUNA RIGHT [SELESAI]Where stories live. Discover now