APARTEMEN AJUN

203 8 0
                                    

"Kiran sama Ajun istirahat di rumah saya." Putus Mama Kiran, secara sepihak. Semua orang-anggota keluarga Kiran dan Ajun langsung menoleh, menatap Mama Kiran.

"Di rumah saya juga boleh," Ujar Ibu Ajun.

Ayah Ajun menggeleng tidak setuju.

"Biarkan anak-anak yang memilih."

Kiran dan Ajun saling pandang cukup lama.

Ajun mengebuskan napas, dia melirik Mama mertua dan Ibunya singkat. Terpancar rona bahagia di wajah mereka berdua. Ajun jadi bingung harus bagaimana, dia tidak ingin membuat salah satu dari mereka cemburu.

"Katanya, Kiran pengen langsung ke apartemen saya," Ujar Ajun asal. Kiran yang disebut namanya lantas melotot tidak percaya, dia menendang kaki Ajun pelan.

Ajun meringis, lantas menatap Kiran.

"Kenapa Bapak jual nama saya?" Desis Kiran, setengah berbisik dan hanya Ajun yang bisa mendengarnya.

Ajun tersenyum tipis. Dia kembali menatap para anggota keluarganya.

"Tuh, kalian bisa lihat sendiri kan? Kiran sangat bersemangat mau pulang ke apartemen saya."

Kiran mengusap wajah frustasi. Dia tersenyum penuh beban. "Iya. Gue yang jadi kambing item." Bisiknya pada diri sendiri.

Mama Kiran dan Ibu Ajun mengangguk setuju.

"Baiklah. Kami fikir kalian nggak mau dapet gangguan, kan? Selamat bersenang-senang."

"Gangguan?" Beo Kiran polos.

Ajun merangkul bahu Kiran lembut, Kiran terkejut bukan main dengan pergerakan tiba-tiba Dosennya itu.

"Kalo gitu, kami pulang. Besok atau lusa, saya akan ambil barang-barang yang Kiran butuhkan," Ujar Ajun ringan.

...

Kiran melepaskan ikat rambutnya, menyisirnya secara lembut dengan memakai jari-jarinya. Ajun yang merasa terganggu dengan aktivitas Kiran itu menegurnya.

"Jangan buang-buang rambut di mobil saya."

Kiran mendesis sebal, "iya. Iya. Ini berhenti."

Mobil Ajun memasuki basement apartment. Setelah terparkir, Ajun dan Kiran keluar. Kiran yang sangat jarang berada di basement lari-lari kecil, seperti anak kurang piknik.

Ajun menggeleng pelan.

"Jangan lari-lari. Nanti jatuh."

Namun, Kiran tidak mendengarkannya.

Ajun menghela napas panjang.

"Berasa ngurus anak SD aja."

Ajun dan Kiran masuk ke elevator.

"Apartemen Bapak di lantai berapa?"

"Sepuluh."

"Wih, cetek banget. Kenapa nggak di paling atas? Biar bisa lihat pemandangan kota ini."

Ajun menyentuh angka sepuluh. Elevator tertutup dan mulai bergerak naik ke atas.

"Gedung ini cuma tiga puluh lantai."

"Ada kolam renang, gym sama resto, Pak?"

"Kamu pikir ini hotel?"

Kiran mencerbik, "Kali aja ada gitu."

Tring! Elevator terbuka.

Kiran keluar dari elevator dengan riang gembira seakan enrginya tidak terkuras saat proses pernikahan tadi. Sedangkan Ajun, Bapak Dosen kita ini sudah terlihat seperti mayat hidup.

Wajahnya mulai pucat, matanya memerah kentara sangat lelah dan mengantuk.

Ajun berdiri di depan sebuah pintu. Kiran yang berjalan terlalu jauh terpaksa putar balik dan berdiri di sebelah Ajun.

Ajun hendak menyentuh deretan angka untuk membuka pintunya, namun tangannya terhenti saat mendengar perkataan Kiran.

"Ah, iya, Pak. Saya penasaran, kata Ibu Bapak tadi kita nggak mau diganggu kan? Maksudnya gimana yak? Saya kurang ngerti."

Mata Ajun menatap ke sana-sini. Seakan sedang mencari jawaban. Dia bingung, apa Kiran memang sepolos ini? Tapi, dia teringat saat berada di kamar Kiran dulu. Beberapa foto idolanya terpajang bebas meski mereka memakai baju kurang bahan itu.

Diam-diam Ajun tersenyum jahil. Dia kembali melanjutkan aktivitasnya menyentuh angka password apartemennya.

"Kamu beneran nggak tau?"

"Kalo saya tau, saya nggak bakal nanya."

Setelah pintu terbuka, Ajun memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Kiran.

Ajun memajukan kepalanya, sampai bibirnya berada di depan telinga Kiran. Kiran hanya mampu diam, sambil menahan napasnya.

Ajun tersenyum iblis.

"Malam pertama."

MR. ARDJUNA RIGHT [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang