MENGINAP DI RUMAH MERTUA 1

140 10 0
                                    

Ajun memasang wajah bete.

"Jadi, tempat yang ingin kamu kunjungi itu rumah Ibu saya? Mentok-mentok luar kota, atau luar negeri juga boleh. Saya sanggup."

Kiran menggeleng tidak setuju.

"Bukan begitu, Pak. Banyak sekali tempat yang ingin saya kunjungi, saking bingungnya saja jadi pengen ke rumah Ibu Mertua."

"Kalo gitu, mending di apartemen aja. Nggak usah ke mana-mana. Sama aja, nggak ada bedanya."

"Lain kali, kita ke Korea aja gimana?"

"Lain kali itu kapan?"

Kiran mengangkat bahu singkat.

"Ya, kapan-kapan."

Pintu rumah megah itu dibuka dari dalam. Kiran tersenyum lebar saat melihat Ibu Mertuanya tengah menyambutnya dengan senyuman yang hangat. Kiran memeluknya, bersalaman. Sedangkan Ajun masih saja memasang wajah bete, membuat Ibunya sendiri kebingungan.

"Kamu kenapa, Ajun? Udah mirip bebek aja."

Setengah mati Kiran menahan diri untuk tidak tertawa. Ajun semakin memajukan bibirnya, tidak istrinya tidak ibunya bukannya menghiburnya malah mengejeknya. Sepertinya, semua perempuan di dunia ini sama.

"Loh, sudah sampai? Ayah kira nanti sore."

Suara itu terdengar seperti angin surga bagi Ajun. Ajun merentangkan kedua tangannya, langsung memeluk Ayahnya erat. Awalnya Ayah Ajun kaget dengan perubahan sikap putranya, namun dia tersenyum dan menepuk-nepuk punggung Ajun pelan. Seakan sedang mentransfer kekuatan.

"Wanita di bumi jahat-jahat, Yah."

"Lebay banget kamu. Ayo, cepat masuk!"

...

"Loh, Bapak nggak bawa baju?"

Ajun menurunkan buku dari hadapannya, "Kan ini rumah saya, kamu lupa? Atau amnesia?"

Kiran mengerutkan keningnya, kenapa cara Ajun berbicara jadi berbeda? "Bapak marah sama saya?" Tanya Kiran, to the point.

Ajun kembali memposisikan buku di depan wajahnya, tidak menjawab pertanyaan dari istrinya itu. Kiran bersedekap, menatap sang suami dengan tatapan sebal. Kalau sudah ngadat, Ajun itu benar-benar menyebalkan!

"Pak, kalau ada masalah cerita! Please, jangan kekanakan gini. Ini bukan di apartemen Bapak."

Diam, Ajun masih saja tidak menyahut.

Kiran mengembuskan napas berat.

"Oke, fine! Saya pergi."

Kiran keluar dari kamar Ajun, rasanya kurang puas saat tidak membanting pintu dengan kasar dikarenakan posisinya yang sedang berkunjung di rumah mertuanya.

Kiran mengusap wajah frustasi sebelum masuk ke area dapur. Di sana, sudah ada Ibu Mertua yang sedang sibuk memasak daging. Kiran langsung saja menawarkan bantuan.

"Ada yang bisa aku bantu, Bu?"

"Bawangnya masih kurang, tolong potongin."

"Baik, Bu."

Kiran mengambil pisau, meraih beberapa siung bawang merah dan putih. Dia mulai mengupas dengan terampil, pelajaran di les memasak ada gunanya juga ternyata.

"Ajun kenapa, Ran?"

"Nggak tau, Bu. Dari tadi pagi gitu terus. Lagi puber kayaknya. Biasanya mah nggak gitu."

Ibu Ajun terkekeh geli mendengar jawaban Kiran. Setelah menikah, baru kali ini Kiran dan Ibu Mertuanya memasak bersama. Baru kali ini juga mereka mengobrol panjang lebar ngulon ngidul sampai semua masakan beres.

Kiran menyiapkan piring di meja makan.

"Ternyata, kamu pandai masak juga."

"Ah, nggak. Masih belum sepro Ibu."

Ibu Mertua tersenyum, "Lain kali, kita masak bareng lagi ya? Kita masak western food."

"Wih, ide bagus, Bu."

Ibu Ajun duduk di kursi kekuasaannya, beliau memanggil suami dan anaknya dengan suara yang sangat powerfull seakan mampu membuat dunia berguncang saking hebatnya.

"AYAH! AJUN! MAKAN MALAM!"

Dalam hati Kiran bertanya, apakah kalau sudah menjadi seorang Ibu dia akan seperti itu? Mantul juga, suara makin powerfull!

Belum genap satu menit, kedua penghuni rumah ini turun ke ruang makan. Mereka berjalan beriringan seperti sepasang kekasih. Ekspresi mereka sama, datar dan lesu seperti tidak bersemangat hidup. Kekuatan Ayah dan anak memang kuat ya?

Ibu Ajun dan Kiran saling tatap sebentar, lantas tertawa kecil saat melihat wajah kebingungan dari suami masing-masing.

"Apa yang lucu, Bu?"

"Kenapa kamu tertawa, Ran?"

Para Ibu-ibu menggeleng, cepat mengganti topik pembicaraan. Kalau tidak, sepertinya mereka akan semakin ngadat dan tidak akan memakan makan malamnya.

Mereka duduk di kursi masing-masing. Baru kali ini Kiran duduk di kursi kehormatan ini, untuk kedua kalinya Kiran makan bersama dengan keluarga suaminya. Kiran sangat excited sekali sampai terharu dan meneteskan air mata. Ajun yang berada di sebelahnya kaget, buru-buru mengambil tisu dan memposisikan wajah mereka saling berhadapan. Langsung saja Ajun meniup-niup mata Kiran. Kiran menatap Ajun dengan mata melotot dikira Kiran kelilipan kali ah.

"Bapak ngapain?"

"Bukannya kamu kelilipan, ya?"

Kiran melepaskan tangan Ajun dari wajahnya. Pipinya sudah merona, bukan malu bertatapan dengan Ajun tapi merasa malu karena ditonton oleh kedua mertuanya.

"Saya nggak kelilipan, Pak. Cuma terharu."

"Terharu? Terharu kenapa?"

"Ah, Bapak mah nggak bisa ngerti."

Ayah Ajun terkekeh geli melihat pertengkaran kecil pasangan di hadapannya, sedikit teringat dengan masa lalu. Dimana, saat dirinya baru menghalalkan istrinya. Situasinya tidak jauh seperti Ajun dan Kiran sekarang.

"Yaudah. Sekarang kita makan dulu." Lerai Ibu Ajun, beliau tidak suka makan malam ditunda. Alias, sudah kelaparan. "Memangnya masak itu nggak pake tenaga apa? Cepat makan, sayang-sayang ku."

Kiran dan Ajun mengangguk patuh.

Ajun berbisik pada Kiran, "Tamunya udah beres kan? Jadi, malam ini bisa melanjutkan proyek?"

Kiran melotot tajam. Seakan mengisyaratkan 'Kalo mau mati malam ini, terus aja bisik-bisik.'

MR. ARDJUNA RIGHT [SELESAI]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt