SHOPPING 1

204 6 0
                                    

BIP!

Suara pintu apartemen terkunci membuat Kiran mau tidak mau membuka kedua matanya yang masih lengket untuk terjaga. Dia diam, tatapan matanya kosong ke arah televisi berlayar lebar di seberangnya.

Kiran menutup mulutnya, setengah jiwa menahan agar teriakannya tidak keluar saat semua nyawanya telah terkumpul sempurna.

Kiran bangun dari rebahannya, netranya sibuk memperhatikan seluruh ruangan. Sepi, seperti tidak ada kehidupan di sini. Kiran menunduk saat baru menyadari sesuatu membungkus kakinya.

Kiran termenung, "Selimut? Kapan? Kenapa ada di sini? Perasaan semalem gue-"

TING!

Ponsel yang tergeletak di atas meja berdering, sebuah notifikasi pesan masuk muncul di layar. Kiran meraih ponselnya, memeriksa pesan itu.

Dosen Sialan
Saya ke kampus, ada kelas pagi.

Dosen Sialan
Kalau mau keluar, jangan lupa bawa kartu akses apartemen saya. Saya letakkan di meja makan.

Entah mendapatkan energi dari mana senyum Kiran terbit begitu saja saat melihat pesan itu. Kiran menutupi wajahnya dengan sebelah tangan, tersipu dengan pesan itu.

"Gini ya rasanya diperhatiin tuh?" Tanya Kiran, jangan lupa wajah merah padam dan seringai geernya. Namun, Kiran tiba-tiba menggeleng cepat. Dia menatap ponselnya melotot tajam, "Apa-apa, sih gue?! Baru dikasih perhatian kecil gini doang udah kegeeran. Sialan! Lemah banget gue."

Kiran bangkit dari duduknya, meninggalkan ruang tamu dan tentunya selimut yang masih berantakan di atas sofa menuju dapur yang jarak tidak jauh dari tempat tadi.

Tempat yang Kiran tuju langsung meja makan. Benar, sebuah kertas kecil mirip kartu kredit tergeletak di samping nampan berisi buah-buahan dan sebuah kertas memo berwarna ungu menempel pada apel. Kiran mengambilnya, lantas membacanya.

Lagi-lagi Kiran dibuat tersenyum, dada Kiran mendadak berdesir tidak karuan. Kiran dibuat terbang dua kali oleh Dosen tampan kita. Apalagi saat Kiran membaca kembali pesan yang tertulis di sana.

Kalau mau beli kebutuhan,
pakai kartu kredit saya.
Ambil di ruang kerja.

Kiran tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Seringai iblis tercetak jelas di bibir tipisnya. Dia benar-benar tidak pernah merasa sesenang ini dalam beberapa hari belakangan.

Tuhan sepertinya mendengarkan semua doa yang dia panjatkan. Kiran makin percaya jika Tuhan benar-benar menyayanginya.

"Ah, si Bapak pengertian banget sama gue."

...

"Beli apa lagi, ya?" Tanya Kiran pada dirinya sendiri. Saat ini gadis cantik yang ngakunya sebagai adik Bae Suzy ini sedang ada di salah satu pusat perbelanjaan.

Kiran memperhatikan deretan perhiasan yang sedang dia lewati. Matanya berbinar-binar saat melihat semua benda berkilau itu. Namun, Kiran mendadak cemberut saat mengingat sesuatu yang penting.

"Gue harus belajar hemat. Lagian ini bukan uang gue, ini uang Pak Ajun. Kasian kan, Dosen juga gajinya nggak besar. Kalo gue boros, bisa bisa Pak Ajun jatuh miskin? Terus gue tidur di emperan? Oh no! Big no!"

Dengan langkah yang berat, Kiran melanjutkan langkahnya. Kedua tangan Kiran sudah penuh membawa paper bag belanjaannya. Mulai dari perlengkapan mandi sampai skincare dia beli.

Sebuah ide terlintas di kepala Kiran. Berhubung kartu ini milik Pak Ajun, kurang sopan banget kalau Kiran tidak beli apa-apa buat pemiliknya.

Kiran memilih untuk istirahat sejenak di cafe, dia memesan secangkir capuccino panas. Setelah membereskan barang-barangnya, Kiran merogoh ponsel yang ada di tas.

Dia menghubungi Ajun. Tidak lama, panggilan terhubung. Kiran sedikit kaget saat teleponnya langsung diangkat di seberang.

"Hallo, Pak?"

"Ada apa, Kiran?"

"Ada barang yang Bapak mau beli?"

"Oh, kamu lagi belanja? Pantes ada spam SMS laporan kartu kredit."

Kiran menghela napas panjang.

"Kan Bapak yang suruh. Gimana sih? Ikhlas nggak ini? Bapak jangan mempermainkan saya dong. Saya nggak enak tau."

Kekehan pelan terdengar dari seberang, Kiran mengernyit dan menatap layar ponselnya. Iya, dia menelepon orang yang benar kok. Kenapa orang yang ditelepon sikapnya beda ya?

"Bapak ketawain saya? Bapak anggap saya lelucon, ya? Tega banget. Saya jebolin juga limit kartu kreditnya nih."

Hening sesaat. Kiran tau kalau candaannya terdengar sangat sadis, tapi dia tidak peduli. Kenapa juga Ajun bersikap seperti ini padanya? Kenapa tiba-tiba bersikap sok friendly gini?

"Stok popmie menipis, jadi tolong beli ya."

"Ada lagi, Pak?"

"Beli makanan ringan aja. Buat ganjel perut. Kalo bahan buat masak nanti kita beli bareng."

"Beli bareng?" Gumam Kiran, "Sinting ya? Siapa juga yang nanti masaknya?"

"Huh? Kamu ngomong apa? Maaf nggak kedengaran. Bisa di ulang?"

Kiran melotot saat menyadari perkataannya.

"Nggak, Pak. Ini saya mau beli makan siang dulu."

"Kamu belum sarapan? Kalau sudah beres, kabari saya. Saya jemput. Pasti belanjaannya banyak. Takutnya kamu kerepotan."

Kiran berdeham, "Baik, Pak. Saya tutup ya."

BIP.

Panggilan langsung terputus. Kiran menatap jam bundar yang menempel di dinding cafe, dia menghela napas berat.

"Jam satu siang masih disebut sarapan?"

MR. ARDJUNA RIGHT [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang