MENGINAP DI RUMAH MERTUA 2

161 9 0
                                    

"Bapak mau kopi?"

Ajun yang masih ada di mode ngadat tidak menyahut pertanyaan Kiran. Semenjak acara makan malam tadi Ajun tidak membuka suara, malah semakin fokus dengan buku-bukunya.

Kiran berdecak sebal.

"Dasar kutu buku! Nanti tidur sama buku aja!"

Kiran melengos ke balkon dengan ponsel di tangannya. Cewek mungil itu menyilangkan tangan di atas pagar pembatas, jarinya mulai bergerak di layar ponsel mencari kontak seseorang. Dia mengembuskan napas berat sebelum menghubunginya.

Kiran mendekatkan ponsel ke telinganya.

"KIRAN?! HALLO! APA KABAR, SAYANG?"

Kiran terkekeh pilu mendengar suara cempreng itu. Hatinya teriris saat mendengar panggilan kesayangan itu. Kiran mengulum bibirnya kuat sebelum menjawab pertanyaan itu.

"Adeknya Bae Suzy selalu baik, Mah. Mama gimana kabarnya? Papa sama Abang mana?"

"ADA! SEBENTAR, MAMA PANGGILAN DULU! PAPA, ABANG! SINI DONG! KIRAN TELEPON, NIH! ASTAGFIRULLAH, CEPETAN TURUN! PULSA LAGI NAIK NIH!"

Kiran terkekeh pilu mendengar teriakkan itu. Bahunya mulai bergetar, air di pelupuk mata sudah bertumpuk penuh.

"Hallo, Kiran? Apa kabar, Nak? Sudah makan?"

Sesak! Dada Kiran terasa sesak saat mendengar suara berat itu. Air mata Kiran sudah lolos dari sarangnya, dia mengangguk bersemangat.

"Baik, Pah. Udah, dong! Papa gimana kabarnya? Masih suka makan cireng?"

"Kamu ini ada-ada aja. Papa sehat. Mama sama Abang juga sehat. Kamu harus tetap sehat juga, ya? Jaga pola makan dan sering istirahat, jangan kecapean. Awas aja."

Kiran mengusap air mata yang berjatuhan di atas pipinya. "Iya, tenang aja. Kiran bisa jaga diri Kiran sendiri, kok! Papa, Mama dan Abang sehat-sehat juga, ya! Nanti Kiran maen ke sana." Suara Kiran mulai tersekat.

"Dek, gue tau ini lebay. Tapi, gue beneran kangen banget sama Lo. Lo kapan pulang? Kapan ribut lagi sama gua? Udah bosen idup Lo sampe nggak main ke sini? Gue kesepian."

Kiran terkekeh geli.

"Cepetan nikah, Bang! Jangan jadi jomblo tua!"

"Anjir! Sialan Lo! Awas aja kalo nggak balik."

Hening sebentar.

"Dek, Lo nangis?"

"Huh? Kiran nangis? Kenapa?"

"Ya mana Abang tau, Mah!"

"Tanyain atuh Bambang! Nggak ada inisiatif!"

"Kata Mama, Lo kenapa nangis?"

Kiran kembali menghapus jejak air matanya. "Nggak! Siapa yang nangis? Sembarangan!" Namun suara serak Kiran tidak mampu menipu keluarga, apalagi Abangnya yang sangat teliti.

"Jangan bohong, Dek. Ajun nyakitin Lo?"

"Nggak. Pak Ajun baik banget tau! Sampai kemarin UAS aja nemenin Gue belajar."

"Beneran? Atau, Lo nggak dikasih nafkah batin?"

"YE, MONYET! SEMBARANGAN AJA!"

"Hehe. Siapa tau aja gitu, Sat! Ajun mana? Gue pengen ngobrol sama dia. Kasih teleponnya."

"Pak Ajun lagi belajar, nggak bisa diganggu."

"Yaelah, udah jadi dosen aja masih aja belajar. Kagak bosen apa tuh belajar mulu? Yaudah, lain kali aja."

"Namanya juga Dosen, Bang. Harus rajin. Nggak kayak Lo, pemalas! HAHAHAHHA!"

"SIALAN!"

"KENAPA MALAH PADA NGOMONG KASAR? NGGAK SADAR MAMA SAMA PAPA MASIH DI SINI? DI MANA SOPAN SANTUN KALIAN WAHAI PARA ANAK-ANAK KU?"

"Ih, Mama lebay banget sih?"

"Sini, Papa mau ngobrol lagi sama Kiran. Hallo? Kiran? Suara Papa terdengar jelas nggak? Di sini sedang ada perang dunia ke tiga, jadi agak terputus-putus."

"Jelas, Pah. Abang bakalan aman di tangan Mama? Papa jangan bantuin Abang ya?"

"Iya. Tenang aja. Papa di pihak Mama."

"Cakep banget Papa ku ini."

"Kiran, kalau kamu butuh istirahat, pulang aja ya, sayang. Papa tau, pernikahan itu terkadang ada capeknya. Seenggaknya, kalau bersama keluarga bisa cepat pulih capeknya, ya? Kami selalu merindukan kamu, Nak. Papa jadi sedikit menyesal melepaskan kamu kalau kamu jadi jarang banget hubungi kita semua."

"Iya, Pah. Nanti, kalau ada waktu Kiran main. Jangan sedih gitu, ah. Kiranya juga jadi sedih."

Air mata kembali tumpah, Kiran lagi-lagi langsung menyekanya. Baru kali ini dia merasakan rindu yang teramat dalam pada keluarganya. Rindu yang benar-benar menyesalkan dada. Kali ini, Kiran mengerti apa arti rindu yang sebenarnya.

"Kamu, anak kesayangan Papa. Harus kuat, ya? Jangan gampang menyerah, setiap masalah selalu ada jalannya ya, Sayang."

Kiran terdiam, dadanya terasa sangat sesak mendengarnya. Tanpa Kiran sadari, sepasang tangan sudah melingkar di pinggangnya. Deru napas seseorang terasa di tengkuk Kiran. Kiran tidak bisa menahan isakannya lagi. Dia menangis tersedu-sedu.

Ajun mengecup singkat tengkuk Kiran, mengambil alih ponselnya dari tangan Kiran. "Hallo, Papa Mertua? Sepertinya, Kiran sedang puber jadi lagi gampang nangis. Besok kami akan berkunjung. Eh, menginap."

"Baik, Nak. Papa titip Kiran, ya? Jaga Kiran, sayangi Kiran jangan membuat Kiran sedih. Papa nggak tega mendengar Kiran nangis, jadi pengen bawa dia lagi ke rumah ini."

"Baik, Pah. Salam hangat untuk keluarga di sana. Selamat malam."

Papa Kiran mematikan panggilan. Ajun menyimpan ponsel Kiran pada saku celana trainingnya. Dia semakin memeluk erat Kiran, seakan sedang menyalurkan semua energinya pada istrinya itu.

Kiran masih saja terisak, dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Pertahanan Kiran benar-benar hancur.

Ajun kembali mencium tengkuk Kiran singkat.

"Ayo, berhenti nangisnya. Besok kita pulang, ke rumah kamu. Lain kali, kalau pengen pulang, bilang aja ya? Jangan nangis kayak anak kecil gini. Jadi makin gemes saya sama kamu."

Kiran menginjak sebelah kaki Ajun, membuat Ajun mengaduh kesakitan namun tidak melepaskan pelukannya.

"Sakit, Sayang!"

"Yang kayak anak kecil itu, Bapak! Suka ngadat nggak jelas! Buat saya bingung harus gimana."

Ajun menyimpan dagunya pada sebelah bahu Kiran. "Saya mah gampang baik, kok. Tinggal beri saya kasih sayang. Atau-Dua Ajun Junior."

"Malam ini, Bapak tidur di luar!"

MR. ARDJUNA RIGHT [SELESAI]Where stories live. Discover now