AJUN TEPAR

201 9 0
                                    

"Ajun dimana, Ran?"

Kiran yang sedang membuat teh menoleh, dilihatnya sang Mertua memasang wajah bertanya. Kiran tersenyum ramah, "Di kamar, Bu. Sepertinya sedang bekerja. Mau Kiran panggilkan?" Tawar Kiran.

Ibu Ajun mengangguk, "Tapi, setelah kamu membereskan tehnya. Santai aja ya, Ran."

Kiran hanya mengangguk mengerti. Setelah menghidangkan teh pada Mama dan Mertua, Kiran menuju kamarnya. Berniat menjemput Ajun seperti keinginan dari Mertuanya. Kiran mengetuk pintu pelan. Tok, tok, tok!

"Pak, Ibunya Bapak datang," Ujar, Kiran.

Hening. Tidak ada sahutan dari dalam. Kiran berdecak, dia segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Ajun. Lagi-lagi, hanya suara operator yang terdengar menjawab. Kiran mendadak cemas, dia takut terjadi apa-apa dengan Ajun. Bagaimana jika Ajun tiba-tiba tidak sadarkan diri di dalam?

"PAK! BUKA PINTUNYA!"

"BAPAK NGGAK KENAPA-KENAPA KAN?"

"PAK! SAYA MOHON BUKA PINTUNYA!"

"PAK AJUN! BISA DENGER SUARA SAYA NGGAK SIH?! BUKA, PAK! SAYA CEMAS!"

Kiran menggedor-gedor pintu serta berteriak seperti orang gila, memanggil nama Ajun berulangkali. Namun, nihil. Pintu tidak kunjung terbuka. Suara Kiran membuat Mama dan Ibu Mertuanya mendatanginya, guratan wajah cemas tercetak jelas di muka mereka berdua.

Kini, Kiran sudah menangis. Kiran masih saja menggedor-gedor pintu itu. Sampai tangannya memar berwarna merah. Mama Kiran segera menghentikannya, beliau memeluk erat Kiran berusaha menenangkannya.

"Kiran, kamu ini kenapa, sayang?"

Kiran terus saja menangis, membuat Mama dan Ibu Mertuanya semakin penasaran dengan apa yang sedang terjadi saat ini.

"Pak Ajun nggak buka pintunya, Mah. Kiran takut terjadi sesuatu sama dia. Pintunya dikunci dari dalam dan Kiran nggak tau dimana kunci cadangannya," Jelas Kiran, suaranya sudah sangat serak karena berteriak tadi.

Ibu Ajun yang mendengar cerita Kiran langsung terlihat cemas dengan keadaan anaknya di dalam. Dia segera membuka laci kecil di dekatnya, mengeluarkan sebuah kunci dari sana. Kiran dan Mama Kiran hanya mampu diam, kenapa tidak dari tadi keluarinnya? Dumal keduanya dalam hati.

"Sebentar, kamu minggir dulu." Pinta Mertua.

Kiran dan Mamanya langsung bergeser, menjauh dari pintu. Ibu Ajun segera memasukan kunci pada lubang pintu, detik berikutnya pintu langsung terbuka. Mereka bertiga bergegas masuk ke dalam, betapa terkejutnya Kiran saat melihat Ajun tepar tidak sadarkan diri di lantai. Kiran bergegas duduk dan menyanggah kepala Ajun ke atas pahanya. Aroma alkohol dari mulut Ajun membuat Kiran hampir memuntahkan semua isi perutnya.

Kiran menutupi hidungnya dengan sebelah tangan, menoleh ke Ibu Mertua menuntut jawaban. "Pak Ajun suka mabok, Bu?"

Ibu Ajun menggeleng. "Tidak, Kiran. Sepertinya, Ajun hanya sedang kelewat sedih saja. Sampai tidak bisa membedakan antara miras dan air minum. Kamu tenang saja, besok juga bangun," Jawab Ibu Ajun dengan nada enteng.

Kiran mengangguk pelan. Dia mencubit kesal sebelah pipi gembul Ajun. "Kenapa mabok kalo nggak kuat?! Awas aja kalo bangun besok, gue kasih pelajaran!" Bisiknya, pada dirinya sendiri.

Masih dalam posisi tidak sadarkan diri, Ajun melingkarkan tangannya pada perut Kiran. Kiran kaget bukan main, apalagi sekarang mereka ditonton oleh Mama dan Mertuanya.

Ajun Memeluknya dengan sangat erat. Sebuah kalimat lirih penuh penyesalan keluar dari bibir tipisnya, membuat Kiran sempurna tertegun.

"Maaf, Kiran. Saya terlalu terburu-buru," Lirihnya, tangan Kiran refleks mengelus surai hitam itu penuh kasih sayang. Namun, perkataan Ajun selanjutnya malah membuat Kiran ingin sekali membantingkan kepala Ajun ke lantai. "Jangan marah, ya? Saya pengen tiga Ajun Junior."

MR. ARDJUNA RIGHT [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang