TAWARAN & PENDAPAT 2

163 7 0
                                    

"Menurut Bapak, apa saya bisa menjadi seorang Ibu yang baik untuk anak kita?"

Ajun yang sedang menyesap kopi terdesak. Cairan berwarna hitam itu saling berkejaran keluar dari mulutnya. Bapak Dosen kita ini langsung mengeluarkan tisu dari tempatnya. Membersihkan wajahnya dari ampas kopi.

"Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"

Kiran hanya mengangkat bahu singkat.

Ajun meletakan tisu yang sudah basah di atas meja, lantas kembali mengambil yang baru. Ia membersihkan sela-sela jarinya yang lengket.

"Tumben mau bahas ini?"

Kiran menghela napas panjang.

"Jangan banyak tanya, deh. Jawab aja!"

Ajun tersenyum canggung, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tangannya meletakan cangkir kopi di hadapannya. Cowok berkaos biru muda itu menatap serius Kiran.

"Kita tidak akan tahu sebelum mencoba."

Kiran menggaruk pelan pipinya yang terasa gatal. "Tapi, saya belum siap, Pak. Takutnya, saya nggak bertanggung jawab sama-"

"Kiran," Panggil Ajun, menghentikan penjelasan Istrinya itu. Ajun tersenyum manis, "Jangan merendahkan diri kamu sendiri, Sayang. Bagaimana kita bisa mencoba kalau kamu nggak berani gini? Jangan hanya memikirkan yang buruknya saja, coba saya minta kamu untuk positif thinking. Ubah mindset kamu."

Bahu Kiran merosot, "Saya takut, Pak. Takut tidak bisa menjadi seorang Ibu yang baik." Lirih, Kiran. Ajun yang mendengar perbedaan suara Kiran langsung bangkit dan duduk di sebelah istrinya. Merangkul lembut pundak Kiran. Kiran berlindung dalam dekapan hangat Ajun, Ajun tersenyum tipis. Jujur, hatinya masih saja belum bisa menerima keinginan Kiran.

"Kamu nggak sendiri, Kiran. Ada saya."

...

"Gue sama Liam lagi ngerjain tugas. Lo mau bantuin kagak? Please, gue dimarahin terus sama cowok aneh ini! Si Liam jadi kayak Lion kalo dah deket sama deadline!" Jerit Raya dengan nada frustasi di seberang.

Kiran bergidik saat membayangkannya.

"Ogah! Gua kan udah buat naskah. Masa gue kerja dua kali sih? Gue nggak mau hancurin tupoksi masing-masing." Jelas, Kiran.

"Halah! Bilang aja males!"

"Nah, itu Lo tau. Hari ini, hari minggu. Waktunya, me time! Bye! Gue tutup!"

Kiran memutuskan panggilan sepihak, membuat Raya misuh-misuh di seberang. Saat ini, Kiran sedang memasak spaghetti. Makanan pertama yang dia pelajari di kelas memasak.

Ajun keluar dari kamar dengan rambut basah dan handuk kecil bertengger di bahunya. Ajun menghampiri Kiran yang sedang sibuk di depan kompor sampai tidak menyadari kedatangannya. Ajun memajukan bibirnya, merasa kesal kehadirannya tidak dianggap.

"Kamu lagi ngapain?" Tanya Ajun, bete.

Kiran menoleh singkat, lantas kembali fokus ke wajan di hadapannya. "Mancing. Nggak liat apa saya lagi masak?!" Sebal Kiran. "Sebentar lagi juga beres, keringin dulu rambutnya gih!" Titah Kiran.

"Kamu aja yang keringin. Saya males."

"Hah? Mules? Minum obat dong!"

Kiran menjawab asal, tidak bisa mendengar perkataan Ajun dengan jelas karena suara air yang mendidih dari teko.

Ajun menggembungkan pipinya.

"Mulai besok, kamu nggak perlu les masak lagi kalo jadi nggak mau perhatiin saya gini. Mending kita makan mie instan tiap hari!"

Kiran mematikan kompor dengan kasar, membuat Ajun terlonjak dan menatap Kiran dengan wajah was-was. Kiran berbalik, menatap Ajun horror.

"Rambutnya dikeringkan dulu atau aku gundulin? Pilih yang-"

"Tapi, saya lapar."

"Keringin dulu rambutnya, Pak. Kalau flu gimana? Yang repot kan saya. Cepetan!"

Ajun menggeleng cepat. "Nunggu kamu aja."

Kiran mengembuskan napas berat sambil memutar bola mata jengah. Kiran mengangkat kedua tangannya ke atas, tanda menyerah. Ajun yang melihatnya tersenyum penuh kemenangan bahkan melakukan selebrasi dengan handuk yang diputar-putar ke atas.

Kiran mencuci bersih dulu tangannya. Lantas berjalan dan berhenti tepat di hadapan Ajun. Kiran merebut handuk itu dengan wajah ketus, sedangkan Ajun malah tersenyum dengan polosnya membuat Kiran gagal marah.

"Kalo senyumnya manis gini, gimana saya mau marah coba? Kepalanya copot dulu sini. Biar-"

Ajun sedikit menjauh dari Kiran. Menatapnya tidak percaya. "Kamu pikir saya boneka berbi apa? Kepalanya bisa dicopot-pasang?"

"Bapak itu boneka chucky! Nyeremin!"

Ajun mengalah, dia yang mendatangi Kiran. Kepalanya menunduk untuk memudahkan Kiran mengeringkannya.

"Buat apa hairdryer diciptakan kalo gini terus?"

"Panas, Ran. Nggak kuat saya."

"Mental tempe. Dasar! Kepalanya bawahan lagi! Nggak sampai tangan saya, Pak. Kenapa juga punya badan tinggi-tinggi amat. Udah kayak tiang listrik tau gak! Cuma, bedanya Bapak buncit kalau tiang listrik Nggak."

Diam-diam Ajun menatap jahil Kiran. Dia mengibaskan rambutnya ke kanan dan kiri membuat wajah Kiran terciprat airnya.

"PAK AJUN! JAHIL BANGET, SIH! NGGAK BAKALAN SAYA KASIH JATAH SETAHUN!"

Mendengar ancaman dari Kiran, Ajun langsung saja diam seperti patung. Kiran mencibir sebal. "Dasar mesum!"

MR. ARDJUNA RIGHT [SELESAI]Where stories live. Discover now