Kemarahan dan ambisi

725 76 10
                                    

"Taufan", suara yang memanggil membuat Taufan menoleh. Lisa, dengan wajah penuh kekhawatiran menghampiri Taufan yang tengah berdiri di sisi koridor rumah sakit.

"Ibu", jawabnya.

"Apa yang terjadi Taufan?", tanya Lisa lembut, berusaha untuk tidak membuat Taufan semakin tertekan akan masalah ini.

Taufan mengangkat wajahnya menatap sang Ibu, "Gempa dan Ice tiba-tiba sakit, aku tidak tau apa yang terjadi tapi sepertinya mereka...berkelahi", ucap Taufan, ada sedikit keraguan saat mengucap 'berkelahi', namun hanya hal itu yang ia pikir paling mungkin untuk menutupi penyebab sebenarnya.

Alis Lisa yang tadi mengkerut kini semakin mengkerut mendengar pernyataan Taufan, tatapan tak percaya jelas menunjukan isi kepalanya. Bagaimana mungkin seorang Gempa yang walaupun hanya masuk dalam hidupnya beberapa bulan yang lalu, orang yang tenang dan bijak malah berkelahi? sama halnya dengan Ice, orang sedingin itu? yang benar saja?

"A-apa maksudmu? mereka berkelahi? mereka berdua?", cercanya yang dibalas dengan gelengan kepala oleh sang pemilik manik safir.

"Aku belum tau pasti, kurasa mereka diserang atau semacamnya. Nanti saat mereka sadar baru kita bisa tau penyebabnya Bu"

Lisa terdiam, tak tahu harus berkata apa. Belum juga selesai masalah sang suami dan anak sulung, namun mereka harus menghadapi masalah seperti ini. Ia tak habis pikir, apa keluarga elemental memang selalu dipenuhi masalah? bagaimana bisa cobaan datang begitu beruntun?

Semua ini sungguh diluar perkiraannya, ia pikir setelah ia memasuki keluarga ini ia hanya akan perlu beradaptasi dengan ketujuh putranya agar mau menerima mereka namun ternyata semua tidak sesuai espektasinya sama sekali.

Atau mungkin segala kejadian ini datang setelah kedatangannya? atau setelah kepergian Mara? sungguh ia prihatin pada anak-anaknya sendiri, usia dimana seharusnya remaja seperti mereka menikmati masa muda tanpa beban namun mereka dihadapkan pada hal-hal rumit seperti ini, Kenapa?

Taufanpun terdiam, menatap deretan pohon di tengah lahan antar gedung didepan sana. Pikirannya mengembara. Entah apa yang ada dibenaknya namun emosi dalam manik safirnya menunjukan seakan ia sudah menentukan sesuatu yang pasti.

Keheningan juga otomatis tercipta saat dua orang ibu dan anak itu tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing, tak tau harus berbuat dan merespon seperti apa, seakan semua ini terjadi begitu cepat bahkan masih ada yang menunggu dimasa selanjutnya. Menunggu giliran untuk mencoba kekuatan dan ketegaran mereka yang mulai runtuh.

"Ibu", panggil Taufan akhirnya, tak mengalihkan pandangan atau menghadapkan tubuhnya pada lawan bicara.

"Tolong jaga mereka ya bu, ada hal yang harus ku urus"

___________

Pintu kayu itu terbuka perlahan, menampakkan sosok yang telah ditunggu sedari tadi. Ia melangkah masuk tanpa ragu sertakan aura dingin yang ia bawa kini memenuhi ruangan bercahaya accent itu.

"Fan, lu udah dateng", sapa remaja seumurannya yang masih berseragam sekolah lengkap. Sepertinya ia bolos sekolah demi bisa datang ke markas yang telah menampung dirinya selama sekitar 4 tahun terakhir, ia tau hari ini sungguh penting, misi yang tak pernah terselesaikan karena terlalu misteri namun hari ini mereka akan menjalankannya.

Hamdan telah mengumpulkan orang-orang penting TX bersamanya yang juga telah berada di ruangan itu sementara pasukan yang lebih besar ia kumpulkan di markas satu lagi, tempat perkumpulan biasa sebelum mereka melakukan misi beramai-ramai.

Taufan kini berada dihadapannya, masih belum menunjukan perubahan raut wajah seperti topeng yang biasa ia pakai.

"Pasukan udah nunggu di markas 2, motor sama mobil juga udah gua siapin jadi kita tinggal berangkat, sisanya--"

BUGHH

Ucapan Hamdan terhenti saat sebuah pukulan melayang di wajahnya hingga membuatnya hilang keseimbangan dan jatuh di lantai yang dingin. Tak lain, orang didepannyalah yang melakukannya. Taufan memegang kerah seragam Hamdan tanpa mengatakan sepatah katapun, sekali lagi pukulan mendarat di pipi kanan orang itu.

BUGHH

"Fan, lu kenapa?!", tanyanya disela pukulan ketiga yang hampir ia dapat jika saja Ikthar tidak memegang tangan Taufan sertakan Riski dan satu lagi anggota menjauhkan tubuhnya dan memisahkan mereka berdua.

Hamdan mengusap darah dari pipi atasnya, menatap penuh pertanyaan atas tindakan sang kawan yang tak ada angin ataupun hujan malah memukulnya seperti ini.

"Lepas!", bentak Taufan pada teman yang memegang tubuhnya.

Ikhtar membantu Hamdan berdiri, lalu ia menoleh pada Taufan dengan tatapan yang sama herannya, "Lu kenapa Fan? inget kita temen! gua tau lu lagi banyak masalah tapi jangan dilampiasin ke kami, lu jangan egois Fan!", ucap Ikhtar berusaha menengahi.

"Gua egois? lu pikir kenapa? kalian bilang gua ga perlu khawatir sama TR yang berusaha nyelakain saudara gua, tapi apa sekarang? Bahkan temen gua sendiri yang gua percaya malah jadiin mereka umpan kayak gini!!"

"Lu biarin mereka nyerang adik gua, apa alasannya? lu dendam sama gua hah?!", ucap Taufan penuh amarah, emosi yang sejak dalam perjalanan begitu menyesakkan baginya berusaha ia keluarkan.

Hamdan kini tau kemana arah emosi Taufan, ia mendekat pada sahabatnya itu yang masih dalam posisi dipegang sekuat tenaga oleh Riski dan anggota lain. Wajahnya menyiratkan rasa bersalah, iapun berniat akan menjelaskan dengan jelas agar Taufan mau menerima keputusannya.

"Gua terpaksa biarin mereka diserang Fan karna kalo ga gitu kita ga bakal bisa ngelacak markas mereka, gua pikir lebih baik kita cari akarnya biar saudara lu terus aman--"

"Aman? terus kalo kondisi mereka udah kayak gini bisa apa lo?!", potong Taufan.

"Cuman demi tujuan geng lu nyelakain adek gua, inget Dan! mereka adik gua! gua percaya sama lo tapi ini yang gua dapet?"

Hamdan terdiam, ia sadar ia salah. Keputusannya memerintah anggota TX yang melaporkan jika Gempa dan Ice diserang untuk tidak menolong mereka, memang kesalahannya. Ia sadar Taufan akan murka jika tau namun ia tetap melakukannya demi mengubah rencana agar anggota lebih fokus pada pelacakan semua pelaku itu.

Taufan berusaha melepas pegangan teman-temannya walaupun sia-sia karena kini anggota yang tadi hanya melihat ikut mengunci tubuhnya agar tak melakukan hal di luar kendali. Bagaimanapun Taufan dan Hamdan adalah pemimpin TX dan jika mereka berselisih seperti ini tak ada yang berani ikut campur selain mencegah mereka melukai satu sama lain.

"LEPASIN GUA BILANG!", perintah Taufan tegas. Tak ada yang bergeming, walaupun takut pada ketua mereka namun kelangsungan tujuan geng harus diutamakan, jika mereka melepas Taufan sudah tentu ia akan mengamuk dan bisa saja melukai semua orang akibat emosinya.

"Fan, dengerin gua. Gua tau gua salah, lu bisa ngelakuin apapun ke gua, gua terima. Tapi...mungkin kita bakal kehilangan kesempatan buat ngungkap misteri TR yang mulai semua ini, gua janji setelah kita beresin markas mereka gua bakal terima apa aja perlakuan lo ke gua, tapi please Fan, kita harus jalanin misi ini", ucap Hamdan, menatap dalam pada safir milik kawannya itu .

Hening, semua mata tertuju pada Taufan seakan setiap ekspresinya adalah hasil keputusan apakah akan terus lanjut atau menghentikan rencana yang telah disusun.

Manik safir itu bergetar layaknya air tenang yang bergerak, dilema antara kemarahan dan ambisi memberontak dalam dirinya. Kemarahan akan kondisi Ice dan Gempa yang parah karena kelalaiannya menjaga mereka, namun juga ambisi yang kuat untuk mengungkap siapa sebenarnya dibalik TR.

_____________

Author's Note

Aha, udah tau kan kenapa author suruh komen banyak hehe.

Lanjut terus komen sebanyak-banyaknya biar cepet update ya readers, masih ada 1 atau 2 stok chapter lagi nganggur nunggu di post tuh yuhuyyy.

So intinya, komen wajib yah, biar author berhenti menyembelih para elemental kan yah:)

Boboiboy Elemental ~Where stories live. Discover now