Nilai sebuah persahabatan

789 72 48
                                    

Thorn sedang terduduk sibuk mengerjakan senjata terbaru rakitannya sendiri dengan berpegangan pada blueprint yang sudah ia siapkan sebelumnya.

Walaupun ia sedang fokus namun Thorn sadar jika seseorang tengah berjalan mendekat kearahnya, ia tak menoleh ataupun menyapa karena ia tau salah satu anak buahnya yang datang. Perempuan berambut hitam sedang itu menghampiri sang bos dalam hening agar tidak merusak konsentrasi Thorn hingga ia berada disebelahnya sekarang.

"Maaf mengganggu, Bos". Sapa Lia dengan hati-hati. Thorn tidak menjawab, masih fokus pada karyanya.

"Saya hanya ingin melaporkan jika persiapan kita masih aman. Semuanya berfungsi dengan baik, hanya bangunan markas yang benar-benar hancur karna bom yang Taufan taruh di lantai satu"

Thorn mengambil pulpen merah lalu menandai kertas blue print nya sebagai pengingat sudah sampai mana pekerjaannya selesai. "Bagaimana dengan tempat yang aku pilih?", tanyanya tanpa menoleh.

"Sudah siap Bos. Kami sudah menanam semua yang diperlukan jauh dibawah tanah"

Ia mengangguk. "Bagus. Pastikan kalian siap kapanpun aku perintahkan. Jangan lupa kalau aku tidak mau ada yang ikut campur dalam misi ini, polisi, tentara, pemerintah, pastikan mereka tidak bisa masuk ke area itu. Mengerti?"

"Mengerti Bos", jawab Lia patuh.

Tercipta keheningan dengan hanya suara gesekan kertas saat Thorn membulak-balik desain senjatanya, iapun tak masalah jika Lia masih berada disana asalkan dia tidak membuat kebisingan yang akan mengganggu konsentrasinya.

Namun tak berselang lama, suara perempuan yang lebih tua dari pemilik manik hijau emerald itu terdengar. "Bos, kapan kita akan melakukan misi ini? Bukankah bahaya jika ada yang curiga dengan pergerakan kita? terutama keluarga Bos, aku takut jika--"

"Apa yang kau takutkan?", suara Thorn membuat Lia langsung bungkam karena terkejut.

Thorn menghentikan kegiatannya, lalu memilih menumpukan dagunya di kedua tangan dan menatap satu lagi kertas berukuran A3 yang juga berada di meja tempatnya merakit.

"Kau pikir saudaraku yang bodoh itu akan curiga padaku? kau pikir kenapa sampai sekarang mereka masih menganggapku sebagai adik mereka?", tanya sang elemental termuda.

"Aku tau jika Bos masih belum ketahuan. Tapi kita tidak bisa meremehkan saudaramu, apalagi Taufan. Jika kita terus menunggu maka lama-kelamaan mereka juga akan sadar Bos"

"Jadi?"

Lia memberi jeda sebentar untuk mengutarakan idenya, "..kurasa kita harus melakukannya secepat mungkin. Lagipula persiapan kita sudah lebih dari cukup untuk berhasil Bos"

Mendengar itu, Thorn justru tersenyum. "Jangan gegabah Lia."

"Aku masih menyempurnakan rencana kita agar benar-benar akurat. Kau pasti tidak mau kan persiapan yang kita buat selama bertahun-tahun gagal hanya karena kita terburu-buru?"

"Tapi..aku khawatir jika tujuan Bos malah akan terancam jika kita memberi mereka kesempatan untuk mengetahui jati diri Bos yang sebenarnya", ucap Lia. Ekspresi khawatir memang terlihat jelas dari wajahnya dan Thorn menyadari itu, kini manik hijaunya terpaut pada manik kecoklatan sang anak buah.

"Benarkah?", tanyanya singkat.

Pertanyaan itu membuat Lia menghela nafas kesal selagi tatapannya menjadi tajam. "Thorn. Apa kau tidak takut jika kerja kerasmu selama ini akan sia-sia? kenapa kau tidak mau mendengarkanku?"

"Dan kenapa kau begitu peduli? bukankah itu tujuanku?", pertanyaan Thorn membuat Lia seketika tersentak.

"..apa maksudmu?"

Boboiboy Elemental ~Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz