Please, don't

748 82 30
                                    

Ice, maaf ya untuk semua omelanmu yang sia-sia. Kamu tau kan aku memang selalu keras kepala, tidak pernah berubah. Aku rasa memang aku tidak sekuat espektasiku, jadi, aku pergi ya. Maaf sudah merepotkan kalian semua dengan sikapku selama ini, aku sangat bahagia bisa menjadi bagian dari ikatan yang selalu menjadi kebanggaan kita bersama. Jaga dirimu baik-baik Ice, juga jaga yang lain ya. Aku sangat menyayangimu, adikku.

.

.

.

Sosok berambut coklat dengan sedikit surai putih itu berdiri dengan tenang, membiarkan angin mempermainkan rambut yang seiras dengan para saudaranya.

Pikirannya berusaha ia kosongkan agar tak ragu pada keputusan yang telah bulat, segala emosipun ia coba abaikan dengan berkali-kali meyakinkan diri sendiri jika ia sudah lelah, sangat lelah dengan semua ini. Sungguh.

Ditatapnya para pejalan kaki dan pengendara dibawah sana, ada yang tersenyum seraya menatap layar ponselnya, ada yang bereaksi marah karena mobil didepannya tak kunjung bergerak, ada juga orang yang tertidur di halte bus karena kelelahan.

Entah apa yang ada dibalik emosi yang mereka tunjukkan namun remaja itu tak berekspresi apapun, datar walau tak aneh tapi kedataran itu menunjukan sebuah keputusasaan. Keputusasaan akan segala masalah hidupnya yang rumit bagaikan benang kusut.

Pada akhirnya,

Semua tak pernah menjadi baik-baik saja,

Aku tidak kuat lagi, maaf

Maaf sudah hadir dikehidupan kalian dan mencetak berbagai memori,

Saat mungkin pada akhirnya aku harus membiarkan kalian merasa kehilangan lagi.

Tapi sungguh, aku tidak bisa menahan semua ini lebih lama.

Manik biru laut itu bergetar, seperti tak rela meninggalkan segala gerlap dunia yang telah menghidupinya selama belasan tahun. Dunia yang telah memberinya sebuah hadiah berharga berupa keluarga penuh cerita yang menyayanginya, mengingat itu, matanya berkaca.

Baju pasien biru sebiru langit diatasnya seperti memancarkan cahaya, seakan menggambarkan pikiran sang tuan yang kokoh tak tergoyahkan oleh hembusan angin yang semakin kencang.

Mungkin ia tau di suatu tempat,

Jauh di lubuk hatinya,

bahwa cinta tidak pernah bertahan lama.

Untuk itu,

Setelah kepergiannya mungkin para saudara juga ayah ibunya,

tak akan lagi mengingatnya,

tak akan lagi sakit akan keberadaan atau kepergiannya.

Air matanya menetes, membasahi pipi pucat dengan beberapa lebam dipermukaannya. Ia tau betul kenapa hatinya yang biasa dingin bisa sesakit ini, kakaknya, sang elemental terdekat dengannya, ya, si bodoh itu.

Orang yang paling ia percaya, si gila itu...

Boiboiboy Blaze si elemental keempat, si biang onar itu...

Dengan bodohnya menganggap semua baik-baik saja dan semua yang ia alami hanyalah hembusan angin.

Lalu, jika semua seperti kata sok tegar yang ia ucapkan, bagaimana mungkin manik aquamarine itu bisa dipenuhi keputusasaan sekarang? bagaimana mungkin ia menangisi kehidupan yang kejam ini?

Bagaimana mungkin ia menangis untuk orang itu?

Ice terisak, meluapkan segala rasa sakit yang menyesakkan dadanya mengingat pesan teks dari sang kakak. Tak cukup dengan pesan itu, panggilan telepon atas nomor Blaze terdengar saat ia baru saja siuman, baru saja.

Boboiboy Elemental ~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang