CHAPTER 46: Egoistic (1)

12K 1K 36
                                    

Manik biru jernih itu mengerjap beberapa kali. Netra sejernih sungai Amoa itu menatap bingung pada langit-langit tinggi berbahan kayu yang tampak mahal. Namun ada yang aneh, tepat saat Kate menarik napas kuat-kuat ia tercekat. Rasanya seperti ada yang menyangkut di kerongkongan, dan begitu hendak menarik sesuatu yang menjerat lehernya perempuan itu terhenti. Kedua tangan mungilnya mati rasa dan tidak bisa digerakkan sama sekali.

Seutas tali tambang dengan simpul melingkar menjerat lehernya kuat-kuat, Kate merasa sesak sampai kepalanya pusing. Semakin lama ia terjerat, tercekik hingga membuat perempuan itu merasakan sakit yang menjalar ke tengkuk dan dada. Mata jernih itu kemudian melotot sambil disertai rasa perih. Oksigen yang seharusnya mengalir masuk ke pembuluh darah perlahan menghilang.

Wanita itu kemudian merasakan kejang pada bagian perut dan dada karena diafragma yang berkontraksi hebat. Kate benar-benar hampir menyerah, seolah rasa sakit ini berkepanjangan dan tak kunjung usai. Lidah sang gadis kemudian terjulur bersamaan dengan tubuhnya yang meronta-ronta kehilangan asupan udara. Lantas tepat saat itu Kate melihat ayahnya berdiri sambil memicing tajam, dan sepersekian detik berikutnya sebilah pedang menembus dada kiri perempuan itu.

"Hhh ...!"

Kate terengah-engah begitu matanya terbuka lebar dan menangkap gambaran langit-langit putih bersih. Sejurus kemudian gadis itu bangun mendadak sambil menatap bingung pada sekelilingnya yang sangat berantakan. Bulir-bulir bening itu lantas turun begitu saja, membasahi pelupuk matanya dan mengalir deras hingga ke pipi.

Tuk! Tuk! Tuk!

Catherine meringis, ia menatap pada batu-batu yang dilempar ke jendela sejak hari persidangan digelar. Padahal menurutnya sang Ayah adalah perdana menteri yang baik. Octavius menjalankan tugas negara dengan sepenuh hati. Kate tahu betul bahwa ayahnya memang mencintai negaranya. Meskipun terobsesi menjadikan ia seorang ratu, akan tetapi integritas yang dimiliki seorang Octavius Sillian tidak ada duanya. Itu juga yang membuat Raja memercayai ayahnya. Namun, sekarang semuanya berubah.

"Sillian sialan! Keluar kau, penyihir hitam!"

"Keluar! Pergi dari ibu kota!"

"Benar! Jangan kotori kota kami dengan keberadaan busukmu, Nona Sialan!"

"Hey, namanya Sillian!"

"Sillian sialan! Hahaha!"

Kate membuka celah tirai, mengintip orang-orang yang lewat sambil memaki dirinya dan sang ayah. Melempari mansion mereka dengan batu, sampah, bangkai, telur busuk, bahkan limbah buangan dari Gerrard yang seharusnya diperlakukan secara khusus karena termasuk dalam kategori limbah sihir berbahaya.

Gadis itu menarik napas, dia meringkuk di tengah ruangan. Sorot matanya memandang lurus pada lukisan sang ayah yang masih tergantung di dinding. Bayangan akan kematian Octavius begitu memenuhi kepala Kate. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bahwa ini semua nyata. Raja tidak memberikan hukuman apapun, kecuali menyuruh Kate bertahan hidup di mansion tak terurus ini seorang diri. Padahal Kate pikir lebih baik kalau mereka membunuhnya sekalian.

Ah, atau jangan-jangan ini metode pembunuhan baru? Apa mereka membiarkanku seperti ini untuk mati sendirian dengan menyedihkan di sini?

Tok tok tok!

Kate melirik ke arah pintu. Ia takut kalau akan ada seseorang yang masuk dan melemparinya dengan batu. Seperti saat pertama kali pengawal istana mengantarnya pulang. Akan tetapi ketukan pintu itu terus saja berbunyi, dan semakin lama suaranya semakin nyaring. Kate bangkit, berusaha berjalan dengan sempoyongan ke arah pintu. Ia membuka sedikit dan mengintip dari celahnya.

"Nona Sillian, saya membawa perintah dari kerajaan."

Kate membuka pintunya lebar-lebar. "Saya menerima perintah keraja—"

Who Made Me A Princess? [On Revision]Where stories live. Discover now