CHAPTER 4 : Togetherness (2)

57.7K 5.1K 171
                                    


Harry benar-benar tidak habis pikir dengan wanita yang baru ia jadikan istri. Pemuda itu yakin, bahwa saat pingsan waktu itu kepala Ellea pasti sudah terbentur sesuatu dengan sangat keras. Pasalnya dia berbeda seratus delapan puluh derajat dari waktu pertama kali sang Pangeran menemuinya. Seingat Harry, Estelle Theodore yang ia temui beberapa waktu lalu sangat sopan, anggun, dan memiliki kualitas menyakinkan sebagai calon ratu. Pendiam dan tidak berisik, tipe wanita yang sangat bisa diterima sebagai kandidat Putri Mahkota.

"Hm, Harry, boleh tanya sesuatu?" Ellea mengerjap beberapa kali.

Harry menatap perempuan itu tanpa minat, kemudian menyesap teh yang tersaji di atas meja. Pemandangan kebun lily di penghujung musim panas memang yang terbaik. Semilir angin sepoy-sepoy yang melewati kulit mereka, wangi harum bunga yang semerbak di ujung waktu mekarnya, serta bau khas musim panas yang unik.

"Ini akhir musim panas, kenapa kita tidak pergi berlibur?" Ellea menatap Harry yang masih sibuk pada surat kabar di tangannya. "Apa kalian memang tidak pernah berlibur, bahkan di musim panas?"

"Kau pikir kenapa istana kekaisaran raja dibangun di atas tanah yang sangat luas, dan memiliki fasilitas seluar biasa ini?"

Ellea mengangkat bahu pasrah, tidak berniat berpikir. "Karena ditinggali raja?"

"Ya, itu salah satunya, yang lainnya?" Harry melipat surat kabarnya.

"Mana kutahu," Ellea menjawab cepat, "apa karena Raja selalu mendapatkan yang terbaik?"

"Karena seorang Raja harus menghabiskan lebih dari separuh hidupnya di Istana." Lelaki itu menatap Ellea lamat-lamat. "Keluarga kerajaan tidak diperkenankan meninggalkan istana untuk urusan setidak penting liburan. Semua hiburannya ada di istana, apalagi yang mau dicari di luar sana kalau seluruhnya sudah tersedia dengan baik di sini?"

"Kalian tidak bosan?" Ellea mengerjap takjub, aku sudah sangat bosan.

"Bagaimana kau bisa bosan pada takdir yang sudah ditetapkan untukmu, Estelle?" Harry mengalihkan pandangannya.

Giliran manik karamel Ellea yang menatap pria itu lamat-lamat, "Bagaimana kalau ... takdir bisa berubah?"

Harry membalas tatapan dari sorot karamel Ellea. Netra mereka beradu, dan dalam sepersekian detik sang Pangeran sempat merasa obsidiannya tersedot masuk ke dalam manik perempuan itu. Sementara Ellea mengerjap beberapa kali, tapi untuk pertama kali ia sadar bahwa tatapan Harry tidak sedingin biasanya. Ada sesuatu yang lain disana menarik atensinya dengan sangat kuat. Angin yang berembus seolah menjadi saksi, bahwa ada setitik perasaan yang terpercik pada mereka berdua.

Lagi, tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk menarik kesadaran diri masing-masing, dan saling membuang muka. Salah tingkah. Selama ini yang Ellea lakukan tak lebih dari mengekori berbagai kegiatan Harry. Mulai dari pelajaran politik, sosial, ekonomi, sampai latihan sihir dan ilmu bela diri, semua kegiatan sang Pangeran sudah melekat di kepala gadis itu. Beberapa kali Ibunda Ratu menawarkan pelajaran tata krama padanya, tapi dengan tegas Putri Mahkota gadungan ini menolak. Padahal Harry pernah bilang kalau dia sudah bosan diikuti Ellea kemana-mana. Lagi pula sepertinya waktu berlalu cepat bagi keduanya.

***

Terbiasa dengan teknologi dan ponsel, Ellea harus bersusah payah menahan hasrat milenialnya. Gadis itu tidak mau tahu seberapa kuno peradaban tempatnya bernapas sekarang, atau seberapa kecanduannya ia dengan internet. Yang jelas Ellea sedang sangat bosan. Disekelilingnya cuma ada pekarangan, pepohonan, dan bunga-bunga yang hanya bisa membuatnya terkesan saat pertama kali datang. Sementara sisanya, nihil. Tidak ada yang bisa Ellea lakukan selain membaca, berjalan-jalan, atau duduk di taman.

Who Made Me A Princess? [On Revision]Where stories live. Discover now