Satu

928K 30.3K 3.8K
                                    

"Memulai sebuah percakapan aja susah. Apalagi memulai sebuah hubungan. Dasar aku"

***

Hening. Itulah yang menggambarkan kondisi ruangan kelas X IPA 1. Bukan karena tak berpenghuni. Kelas itu bahkan ditempati oleh 40 siswa kasat mata. Bukan pula sedang terkena tekanan batin karena habis dimarahi oleh si guru killer. Tidak. Kelas mereka sedang tak ada guru yang mengajar saat ini.

Hening identik dengan kata diam. Lalu apakah kalian berpikir bahwa saat ini mereka sedang duduk tegap seraya melipat kedua tangan di atas meja? Big no! Mereka bukan lagi bocah SD kemarin sore.

Lalu apa yang mereka lakukan? Sejauh ini, aktivitas yang mereka lakukan masih normal. Layaknya anak sekolahan pada umumnya.

Apa ada sesuatu yang janggal dengan mereka? Tentu saja. Sudah hampir 2 jam mereka berada di dalam kelas. Namun sampai detik ini tak terdengar sedikit suarapun dari mulut mereka.

Kecuali hembusan napas dan bunyi selembar kertas yang dibolak-balik oleh si pembaca.

Apa mereka lupa bagaimana caranya berbicara? Sepertinya begitu.

Di kursi deretan ujung nomor 2, Rea duduk seraya menghela napas pelan. Ia bosan. Ah, tumben sekali.

Beberapa detik kemudian, ia terpikir untuk menghibur diri dengan mencoret kertas putih polos di bagian belakang buku barunya.

Setelah beberapa detik merogoh tas miliknya. Yang ia temukan hanya beberapa buah buku kosong. Ya, itu saja. Ia lupa menaruh kotak pensil di dalamnya.

Ia kembali menghela napas. Lalu apa yang dilakukannya sekarang? Bagaimana ia akan melanjutkan aktivitas mencoret buku, jika tak ada pena untuk ditorehkan di atas sana.

Ia menoleh ke kiri. Disana ada seorang gadis berlesung pipi yang sedang memainkan dua buah pena di atas meja.

Kebetulan sekali. Rea ingin meminjam satu pena milik gadis itu. Tapi ia urungkan mengingat mereka belum pernah kenalan sebelumnya.

Rea berpikir keras, bagaimana caranya ia bisa berkenalan dengan gadis itu, lalu meminjam pena miliknya. Setelah itu, mereka akan melanjutkan aktivitas yang tertunda tadi sebelum mereka berkenalan. Ah, Rea terlalu banyak berpikir.

Ia tetap memperhatikan si gadis berlesung pipi. Dahinya mengernyit heran. Bagaimana tidak?

Saat ini si gadis berlesung pipi sedang menyusun dua buah penanya secara vertikal.

Yap, gadis itu membuat penanya berdiri tegak lurus, lalu meletakkan pena yang lain di atasnya.

Berkali-kali ia lakukan, namun gagal.

Konyol sekali bukan? Jelas-jelas kedua pena itu tidak seimbang!

Tak putus asa, gadis itu terus melakukan percobaan konyolnya. Rea yang bosan melihatnya, kehilangan akal untuk memulai sebuah percakapan.

Dengan gerak refleks ia pun menyenggol lengan si gadis berlesung pipi bersamaan dengan runtuhnya kedua pena yang hampir seimbang tadi. Merasa terganggu, gadis itu menoleh ke arah Rea.

Tak membuang kesempatan, Rea pun membuka percakapan terlebih dahulu.

"Boleh minjem pena lo gak?"

1

2

3

...

Gleg! Rea menelan ludahnya kasar.

Bagaimana tidak? Saat ini semua pasang mata tertuju padanya. Padahal tadi ia sudah mengecilkan suara sekecil-kecilnya.

Namun karena keadaan kelas yang benar-benar hening, suara Rea tadi bagaikan sebuah toa yang mampu terdengar hingga ujung kelas.

Merasa malu dan bersalah karena sudah mengganggu aktivitas banyak orang yang sama sekali tidak ia kenal, Rea pun menundukkan pandangannya dalam-dalam. Ia benar-benar malu saat ini.

Tiba-tiba sebuah tangan terjulur ke arahnya sembari meletakkan pena di atas mejanya. Yap. Ini yang ditunggu-tunggunya sejak tadi.

Ia pun menoleh kearah si pemilik pena yang sudah berbaik hati meminjamkan pena untuknya. Dan ternyata orang itu adalah si gadis berlesung pipi. Gadis itu tersenyum padanya.

Dengan senang hati Rea meraih pena tersebut dan menuliskan sesuatu di atas kertas putih polosnya.

"Makasih :) "

Setelah menulis kalimat singkat itu, ia merobek kertas itu dan memberikannya pada si gadis berlesung pipi.

Tak berselang lama, gadis itu pun kembali memberikan kertas yang sudah ia tulis sebelumnya.

"Sans ae. Btw nama lo siapa?
Gue Annandita Ferelya. Lo boleh manggil gue Anna, Dita, atau Lia. Semerdeka lo aja. Tapi bagusan manggil Anna sih. Heheh."

Rea agak sedikit terkejut dengan balasan yang diberikan oleh si gadis berlesung pipi itu. Ternyata gadis yang bernama Anna itu tak seburuk yang ia pikirkan sebelumnya.

"Gue Zafana Zarea Aisyah. Lo boleh manggil gua Rea. Oiya,minta nomor lo dong. Berasa gagu gue."

Anna terkekeh kecil saat membaca tulisan di kertas itu. Lalu ia menulis nomor WhatsApp mililknya dan percakapan mereka berlanjut melalui ponsel.

Kini keadaan kelas mereka tak sehening seperti beberapa jam yang lalu. Saat Rea berani membuka suaranya tadi, beberapa siswa lain pun mulai mengikuti jejaknya. Sepertinya mereka sudah ingat bagaimana caranya berbicara. Benar-benar konyol.

***

Hai, ini cerita pertamaku.

Semoga suka.

Ingatkan jika ada typo.

Terimakasih:)

Fireflies [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now