Lima puluh delapan

175K 11.2K 1.5K
                                    

"Berjuang, lantas berhenti di tengah jalan. Mencoba untuk merubah takdir. Namun hasilnya masih tetap saja sama. Nothing."

***

Rea duduk dengan lemas di kursi tunggu. Kepalanya terasa pusing. Dia baru saja mendonorkan darah untuk Rifa semalam. Ditambah pula gadis itu tidak bisa tidur barang sebentar saja, mampu membuat kondisi tubuhnya benar-benar tidak fit.

Dengan berbekal air mineral yang tinggal seperempat botol di pangkuannya, itu sudah lebih dari cukup untuk mengganjal rasa laparnya. Ia sedang menunggu informasi terbaru tentang keadaan Bundanya dari dokter.

"Re..." Gadis itu menoleh. Reina baru saja datang. Ia mengenakan seragam sekolahnya saat ini.

Berbeda dengan Rea, Reina jauh lebih fresh. Itu karena semalam, gadis itu menyempatkan diri untuk pulang ke rumah, dan baru saja kembali pagi ini.

"Gimana keadaan Mama?" tanyanya sembari mendaratkan bokong di samping Rea.

"Masih nunggu Dokter." jawab Rea sendu.

Reina melirik jam tangannya sekilas, "Lima belas menit lagi Kak Rein mau berangkat sekolah."

"Kak Rein tetap pergi sekolah? Bunda kan lagi sakit."

"Ya, trus gimana? Gak mungkin Kak Rein bolos kan? Lagian kan ada kamu di sini."

Rea mengembuskan napas pasrah, "Kenapa Bunda bisa sampai begini, Kak?"

"Kak Rein gak tahu pasti gimana kejadiannya. Pokoknya Mama kecelakaan setelah nganterin Papa ke Bandara."

"Papa Rizal ke mana? Apa dia tahu Bunda kecelakaan?"

"Papa lagi keluar kota ngurusin pekerjaan. Dia tahu, tapi dia gak bisa ninggalin kerjaannya gitu aja."

Rea menunduk, menatap air mineralnya tanpa bosan.

"Ah iya, Kak Rein pergi dulu. Takut telat."

***

Terhitung tiga hari, dan Rea masih senantiasa menunggu Rifa di Rumah Sakit. Selama tiga hari pula ia bolos sekolah.

Kantung mata tercetak jelas di pelupuk matanya. Sesekali ia pulang ke rumah untuk sekedar membersihkan diri. Namun setelah itu ia kembali lagi ke Rumah Sakit.

Sudah dua kali pula ia mendonorkan darahnya untuk Rifa. Sebenarnya, hal itu sangat tidak diperbolehkan oleh pihak Rumah Sakit. Namun, Rea bersikeras mengatakan bahwa dia akan baik-baik saja kedepannya. Dengan terpaksa, sang Dokter mengizinkan. Jarang ada anak yang rela berkorban apa saja demi Ibunya. Terlebih perihal mendonorkan darah.

"Kamu anaknya Ibu Rifa ya?" tanya seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang rawat Rifa.

"I-iya, Sus."

"Nama kamu siapa?"

"Saya Rea."

"Beberapa hari ini saya selalu melihat kamu menunggu di kursi ini. Apa kamu gak sekolah?"

"Saya bolos, Sus."

"Begini, saya dengar katanya kamu sempat mendonorkan darah untuk Ibumu. Benar begitu?"

"I-iya, Sus."

"Kamu anak yang baik. Lebih baik kamu kembali ke Rumah, istirahatkan tubuhmu. Wajahmu terlihat lelah. Besoknya kamu juga bisa kembali bersekolah."

"Gak usah, Sus. Saya di sini aja."

"Lho, kenapa?"

"Nanti kalau saya balik, Bunda gak ada yang jagain."

Fireflies [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang