Dua puluh lima

207K 14.3K 1K
                                    

"Beberapa orang peduli, namun tidak kusadari. Karena aku hanya terpusat pada satu titik hingga saat ini."

***

Rea menorehkan beberapa tulisan di atas buku diary yang sengaja ia bawa tadi.

Hari ini jam ekskul. Semua orang berlatih dengan alat musiknya masing-masing.

Namun tidak dengan Rea.

Saat ini, seniornya sedang tidak ada di ruang ini. Oleh sebab itu, ia berani untuk bersantai barang sejenak.

Baru saja menulis setengah isi hatinya, Anna memanggilnya, "Re, sini bentar dong. Bantuin nyanyi, gue yang bawain musiknya."

Rea bergerak menjumpai Anna yang duduk tak jauh darinya. Buku dan penanya, ia tinggal di atas meja dengan keadaan terbuka. Lagipula, pikirnya tak akan ada orang yang iseng untuk mencuri buku itu.

Rea asyik bernyanyi dengan Anna, hingga ia tak sadar, kini seniornya sudah tiba.

Salah satu dari mereka melihat sebuah buku yang tergeletak begitu saja di atas meja. Ia kira buku itu ada kaitannya dengan not atau lirik lagu. Ternyata ia salah. Buku itu adalah sebuah catatan harian milik adik kelasnya.

Perlahan, ia membaca tulisan yang tertoreh di sana. Ia tertarik dengan beberapa puisi yang di buat oleh adik kelasnya itu.

Entah mengapa, hal itu semakin membuatnya rindu pada mendiang adiknya, Tiara.

Hingga buku itu di rampas begitu saja. Sontak Agam menoleh, "Maaf Kak, ini punya Rea."

Ia tersenyum simpul, tanpa diberitahupun ia sudah tahu bahwa buku itu milik Rea.

"Tulisan lo bagus."

Rea tersenyum sekilas, akhirnya ada juga orang yang memuji tulisannya, "Makasih, Kak."

"Sama-sama, Rea. Kenapa gak di tempel di mading aja?"

"Rea gak pede, Kak."

Agam terkekeh pelan, "Kenapa gak pede? Kalau lo gak mau orang lain tau, yang nulis puisi itu lo. Lo bisa kok pakai inisial nama depan. R misalnya."

Rea tampak berpikir sejenak.

"Lo boleh liat-liat dulu keadaan Mading nya. Kalau berminat, gue bisa bantu kok. Kebetulan gue punya kenalan anak Mading."

"Iya, Kak. Nanti Rea pikir-pikir lagi."

"Oh iya, Re. Lo baik-baik aja kan?"

Rea tampak heran dengan pertanyaan Agam barusan, tentu saja dia baik. "Rea baik-baik aja kok, Kak."

"Hmm.. maksud gue setelah insiden di labrak Shelia." Ucap Agam ragu-ragu. "Gue minta maaf karena gak bisa jagain lo waktu itu."

"Kak Agam, Rea gak pa-pa. Kak Agam gak usah merasa bersalah gitu."

Agam terkekeh, lantas mengusap pelan rambut gadis itu, "Yaudah, sekarang lanjutin lagi latihannya ya."

Rea mengangguk pelan, kemudian ia kembali menemui Anna untuk melanjutkan latihannya yang tertunda tadi.

"Re, kayaknya lo yang lebih deket sama Kak Agam deh, daripada Kaira." Ucap Anna, "Hati-hati, Re. Jangan buat ini jadi masalah lagi untuk lo dan Kaira kedepannya."

***

Rea berniat melihat karya-karya siswa SMA Purnama di Mading. Ternyata tidak sedikit pula orang yang menempelkan karya nya di sana.

Ada yang menulis namanya utuh, dan ada pula yang hanya memberi inisial nama depan, seperti yang Agam katakan tadi.

Rea membaca setiap karya yang terpampang di depannya. Hingga manik matanya melihat sebuah karya beserta inisial nama yang tak asing baginya.

Fireflies [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang