Empat puluh

191K 13K 813
                                    

“Hukum timbal balik itu ada. Aku mendengarkan rasa sakitmu, kamu mendengarkan rasa sakitku. Tapi jika kamu datang hanya untuk menceritakan pahitmu, tanpa peduli dengan pahitku. Maka, maaf bung. Kehadiran lo cuma nambah beban!”

***

Sesi perkenalan, dan acara makan-makan sudah selesai. Tadinya Via mengajak mereka untuk jalan-jalan, namun Rea menolak dengan alasan tidak bisa keluar rumah terlalu lama.

Via dan Arlan sudah pulang lebih dulu.

"Re, lo pulang sama siapa?"

"Gue pulang sendiri aja, Ann."

"Rea sama gue aja." Sontak semua pandangan beralih menatap Agam.

"Kak Agam bukannya bawa motor ya?" Tanya Anna, heran.

"Iya, gue bawa motor."

"Terus Kaira gimana, kalo Kak Agam pulangnya sama Rea?" Anna bertanya lagi.

Kenapa Agam selalu mementingkan Rea?

Kaira memilin ujung bajunya. Perasaannya bercampur aduk, antara ingin marah dan sedih. Wajar 'kan? Lagipula Kaira juga perempuan normal.

"Kak Agam pulang sama Kaira aja. Rea udah biasa pulang sendiri."

"Tapi, Re-"

"Biar Rea sama gue." Eric berdiri di samping Rea.

"Eh?"

"Nah, kebetulan ada Kak Eric. Titip Rea ya, Kak."

Bisa-bisanya Anna menitipkannya pada lelaki itu!

"Yaudah, Kak Agam sama Kaira pulang aja. Rea kan udah ada yang nganterin."

Rea menatap Anna tak percaya. Sementara Agam mau tak mau harus pulang dengan Kaira.

"Re, gue sama Leo mau pulang juga nih." Anna mendekatkan diri pada Rea dan membisikkan sesuatu pada gadis itu, "cie ... Kak Eric."

Rea menggeram kesal, sementara Anna lebih dulu melarikan diri.

***

Rea terpaksa menuruti ucapan Anna untuk pulang bersama Eric. Kepalanya berpikir keras, bagaimana caranya agar Eric tidak mengantarnya sampai di depan rumah.

"Kak Eric, Rea turunnya di toko buku aja."

Eric mengangguk, lantas memarkirkan motornya di depan toko buku.

"Lho, kenapa Kak Eric gak langsung pulang?"

"Gue ikut lo aja."

Rea mendengus kesal. Padahal, berhenti di toko buku hanya alibinya saja.

"Rea lama loh, di sini."

Lagi-lagi gadis itu sengaja berbohong.

"Gak pa-pa. Gue tungguin."

Rea mendengus pasrah. Gadis itu langsung saja memasuki toko buku. Tak peduli jika Eric sedang mengekorinya.

Rea berjalan mengelilingi rak buku. Sesekali ia berhenti untuk melihat sinopsis cerita yang menarik baginya. Lalu meletakkannya kembali dan beralih pada novel yang lain. Begitu seterusnya.

Sesekali ia melihat ke belakang. Eric tetap sabar mengikutinya. Rea kesal sendiri melihat kesabaran lelaki itu.

Hampir setengah jam. Dan Rea masih tetap mengelilingi rak buku. Hingga tak sengaja ia menabrak orang di sebelahnya.

"Duh! Sorry ..." Rea mendongakkan kepalanya melihat orang yang ia tabrak. "Kak Zay!"

Rea mengerjapkan matanya berulang kali. Sebagian hatinya merasa senang, tentunya. Saat ini, Zay sedang memegang beberapa buah komik di tangannya.

"Kak Zay di sini juga?" Gadis itu tampak tersenyum sumringah.

"Menurut lo?"

Oke, Rea sudah menebak respon si pria tampan di depannya akan seperti ini. Padahal baru saja kemarin bertemu, tapi Rea sudah sangat rindu dengan sepasang bola mata yang menyejukkan itu.

"Re?"

Rea dan Zay sontak menoleh. Eric baru saja datang, tadinya ia sempat kehilangan jejak gadis itu karena tertarik untuk melihat-lihat beberapa buku.

Suasana mendadak canggung.

Kenapa Eric selalu datang disaat yang tidak tepat?

"Pacar lo?" Tanya Zay, namun Rea dengan cepat menggeleng.

Tapi tunggu! Tumben sekali pria tampan itu melontarkan pertanyaan pada Rea? Benar-benar moment langka!

"Kenalin. Gue Eric, calon pacarnya Rea." Eric mengulurkan tangannya ke arah Zay, berniat untuk berjabat tangan dengan lelaki itu.

"Kayaknya gue pernah liat lo sebelumnya. Oh iya! Lo ketua tim basket SMA Purnama, 'kan?" Eric berusaha mencairkan suasana. Tangannya masih menggantung di udara.

Zay menatap Eric dingin. Tak ada seulas senyumpun di sana. Lantas pandangannya beralih menatap tangan Eric yang masih terulur padanya.

Zay mengambil satu komik yang lain di rak buku, dan berlalu menuju kasir.

Eric menatap kepergian Zay tak percaya. Ia menarik tangannya kembali. 

"Dikira tangan gue haram apa!" Ucapnya pelan. Bisa-bisanya dia diabaikan oleh sesama jenisnya.

"Sok keren banget tu orang emang!" Sungut Eric kesal.

Rea menatap Eric tajam, "kak Eric tuh yang sok keren!" Ketusnya.

Rea pun mengambil sebuah novel asal, lantas beranjak menuju kasir.

"Kok malah gue?"

***

Setelah berdebat panjang dengan Eric, akhirnya lelaki itu terpaksa menurunkan Rea di depan kompleks.

Sedikit lega, karena Eric mau menurutinya kali ini. Rea masuk ke dalam rumah. Ia melihat Reina sedang bersantai di depan televisi sambil memakan kacang kulit. Sampahnya dibiarkan begitu saja.

Rea berusaha untuk tidak peduli.

"Re?" Gadis itu menghentikan langkahnya, saat Reina memanggilnya. Oh, tidak. Jangan bilang kakak tirinya itu akan menyuruhnya untuk mengerjakan pr lagi?

"Sapu di dapur lagi nganggur tuh. Tolong bersihin rumah ya, Re. Kak Rein mau mandi dulu."

Santai sekali cara bicaranya?

"Kenapa jadi Rea yang bersihin? Rea capek, Kak. Baru pulang."

"Oh iya. Piring di dapur juga belum dicuci, Re. Sekalian, ya." Reina bahkan tidak memedulikan Rea. Gadis itu terus saja menaiki tangga.

"Kak Rein!" Rea menggeram kesal.

Jika bukan karena berhutang budi sebab diberi tumpangan. Sudah dari dulu gadis itu melarikan diri dari penjara iblis ini.

***

TBC!

Yang udah baca, tolong tinggalkan jejak yaa.

Aku ngomong sama kalian loh, siders😅

Salam hangat,
Na❤

Fireflies [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang