Empat puluh enam

179K 11.3K 367
                                    

"Sebelum usang mulai menyerang. Kau kerap mengambil ancang-ancang. Agar kita yang tadinya seiring, kini berubah menjadi asing."

***

"Besok orang tua gue mau dateng, Re!" Anna berseru semangat.

Rea tersenyum singkat, sambil kembali fokus dengan selembar kertas yang baru saja dibagikan.

Otaknya berpikir keras. Besok adalah hari pembagian rapor. Dan undangan itu berisi bahwa rapor akan dibagikan bersama dengan orang tua siswa.

"Re, besok lo bawa siapa? Mama atau Papa lo? Oh, atau keduanya?"

Rea tertegun.

***

Pintu berwarna putih di depannya seakan memiliki aura mencekam bagi Rea. Tangan kirinya memegang selembar kertas. Sementara tangan lainnya terangkat di udara. Masih ragu.

Rea menunduk dan memejamkan kedua matanya meyakinkan diri, lantas mengangkat kepalanya lagi.

Tangannya bergerak mengetuk pintu.

"Bunda, ini Rea."

Tidak ada jawaban.

Ia kembali mengetuk pintu, berulang kali.

"Bun-"

Pintu terbuka, dan memperlihatkan wajah datar khas Rifa.

"Ini dari sekolah, Bun." Rea menyodorkan kertas itu pada Rifa. Namun, wanita muda itu hanya menatapnya saja.

Merasa tak diacuhkan, Rea kembali menurunkan tangannya.

"Apa itu?"

"Ini undangan dari sekolah untuk orang tua buat pengambilan rapor besok, Bun."

"Saya tidak bisa." Rifa segera menutup pintu kamarnya, namun cepat-cepat ditahan oleh Rea.

"Tapi kenapa, Bunda? Kalau Bunda nggak hadir, Rea gak akan tau hasil belajar Rea selama ini." Gadis itu bersikeras menahan pintu sekuat tenaga, berharap Rifa akan menurutinya.

"Rea mohon, Bun. Kali ini aja."

"Minggir kamu! Saya bilang tidak bisa, ya tidak bisa!" Aksi dorong-mendorong pintu dari arah berlawanan itupun masih berlanjut.

"Tapi ini penting, Bun."

"Dengar. Besok saya harus ke sekolah Reina. Jadi, saya gak punya waktu untuk menghadiri undangan itu."

"Tapi, Bun-" Rifa menutup pintu dengan kasar, hingga Rea terlonjak kaget dibuatnya, "tapi Rea kan anak kandung Bunda."

***

Jam yang melekat di dinding menunjukkan pukul 08.10.

Rea benar-benar sendirian di rumah ini. Beberapa menit yang lalu, Rifa dan Reina sudah berangkat menuju sekolah Reina tentunya.

Reina tampak senang. Sama seperti anak-anak kebanyakan. Rasa penasaran, bercampur menjadi satu saat detik-detik pembagian rapor tiba.

Tapi tidak dengan Rea.

Gadis itu bahkan tidak sempat memikirkan nilainya, yang ia pikirkan saat ini hanyalah bagaimana caranya ia bisa ikut mendapatkan rapor tanpa bantuan Bundanya.

Ponselnya bergetar sedari tadi, menandakan banyaknya pesan masuk di sana. Rea meliriknya sekilas. Pesan itu berasal dari grup kelasnya. Mereka sibuk menebak-nebak siapa saja orang-orang yang masuk dalam peringkat 10 besar.

Rea tidak ambil pusing dengan hal itu. Gadis itu beralih membaca pesan dari Anna. Sahabatnya itu sibuk menanyakan kenapa dia belum datang hingga saat ini.

Rea memilih untuk tidak membalasnya. Dia bingung bagaimana cara mengatakannya pada Anna.

Tidak mungkin Rea mengatakan bahwa dirinya tidak punya orang tua untuk dibawa ke sekolah.

08.20

Rea berjalan mondar-mandir di kamarnya. Bingung, apa yang akan ia lakukan selanjutnya.

Jarum jam semakin bergerak maju. Sementara Rea masih diam di tempat, membuang-buang waktu.

Tanpa pikir panjang lagi, Rea bergerak mengambil ranselnya, lantas segera keluar dari rumahnya untuk mencari angkutan umum secepatnya.

Bagaimanapun juga, ia harus bisa mendapatkan rapornya. Apapun itu caranya!

***

"Sumpah demi apa gue juara 3, omaigat!" Kaira bersorak gembira setelah keluar dari kelas bersama dengan Ibunya.

Orang-orang bergerak mengelilingi Kaira, kepo.

"Gue kira bohong. Ternyata beneran."

"Salah tebakan gue."

"Orang kayak Kaira bisa juara juga ternyata."

"Lagi hoki aja tuh."

Anna dan Via shock dibuatnya. Kaira ini memang sedikit pintar, tapi sifat pemalasnya benar-benar sudah mendarah tulang.

"Hebat juga lo, Kai." Puji Via.

"Iya dong. Gue gitu loh." Kaira mulai menyombongkan diri, "eh, Ann. Biasa aja dong mukanya. Sampe jatuh tuh iler."

Anna menggeleng pelan, "sialan lo! Awas aja nanti kalau nilai gue udah keluar!"

Kaira tertawa devil, lantas pamit untuk pulang duluan.

Orang-orang yang tadinya berkumpul, kini sudah membubarkan diri.

Via dan Anna memilih berdiri di samping pintu. Pembagian rapor kali ini, bersifat random.

"Kira-kira kenapa ya, Rea belum dateng sampe sekarang?"

***

08.45

Matahari sudah mulai meninggi. Sejak tadi, belum ada juga satu kendaraan umum pun yang melintas.

Rea masih senantiasa menunggu di pinggir jalan.

Tidak ada pohon untuk berlindung dari cuaca panas atau sekurang-kurangnya tempat duduk, untuk sekedar istirahat. Tempat ini benar-benar kosong.

***

Orang-orang yang tadinya ramai, kini sudah sedikit berkurang. Via baru saja keluar dari kelas bersama Papanya.

"Peringkat berapa, Vi?" Anna tampak bersemangat melihat nilai rapor Via. Tentu saja itu adalah pertanyaan pertama yang diajukan oleh anak sekolah kebanyakan, termasuk Anna tentunya.

"Sepuluh, Ann." Anna sedikit terkejut, mengingat peringkat Via beda jauh dari Kaira. Pasalnya, mereka kan duduk satu meja.

Via masih menunduk melihat nilainya. Ia sama tak percayanya dengan Anna. Wajahnya terlihat murung.

"Gapapa, Vi. Nanti bisa ditingkatin lagi kok, di semester dua." Via tersenyum setelah mendapat dukungan dari Anna. Gadis itu pun memilih untuk pamit, karena sudah mendapatkan rapor. Dan tinggallah Ana sendiri. Bukan sendiri, lebih tepatnya bersama dengan teman-teman kelas lainnya yang tidak terlalu akrab dengannya.

Anna menghembuskan napas pasrah. Namanya belum juga dipanggil hingga saat ini. Jujur saja, dia masih deg-degan.

Gadis itu kembali mengecek ponselnya. Rea masih juga belum membalas pesannya. Padahal sudah di-read sebelumnya.

"Re, lo kenapa sih?"

"Annandita Ferelya, masuk." Suara panggilan guru dari dalam kelas mengagetkan Anna. Cepat-cepat gadis itu masuk, dengan segala rasa dagdigdug di hatinya.

***

TBC!

Tolong tinggalkan jejak setelah membaca^^

Fireflies [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now