Dua puluh empat

200K 13.3K 545
                                    

"Kau memang tidak berhati.
Namun bagiku, kau sangat berarti."

***

Rea baru saja tiba di sekolah. Hari ini, gadis itu sedikit terlambat dari biasanya. Itu karena ia baru saja pergi ke konter untuk memperbaiki ponselnya yang rusak semalam.

Tampilannya pun berbeda. Dengan badan yang lesu dan mata bengkak yang terdapat kantung mata di bawahnya, menambah kesan buruk bagi gadis itu pagi ini. Belum lagi dengan wajahnya yang di tekuk.

Ketiga temannya heran melihatnya, "Kenapa lo, Re?" Tanya Kaira.

Rea lantas mengangkat wajahnya dan menggeleng pelan. Tak ada seulas senyumpun di sana.

"Bohong! Cerita aja kali." Desak Kaira.

Rea tak bergeming sama sekali. Ia hanya menundukkan pandangannya.

"Re, kenapa chat gue gak di bales kemarin?" Tanya Anna.

Masih dalam keadaan menunduk, Rea akhirnya menjawab, "Hp gue rusak."

"Kok bisa?!" Anna tampak terkejut mendengarnya.

Rea hanya menggeleng pelan. Tentu saja ia sedih. Untuk memperbaiki ponselnya saja, Rea harus membongkar seluruh tabungan yang ia punya. Dan uang itu habis hanya dalam sekejap mata.

Ah! Malangnya Rea.

"Gue turut berduka cita sama Hp lo. Btw gimana latihan lo sama Es Batu kemarin? Lancar?" Tanya Kaira. Via dan Anna juga tertarik untuk mendengar jawaban langsung dari Rea.

"Gagal."

Kata itu sontak membuat tawa Kaira pecah seketika. Gadis itu tak kuasa menahan tawanya, hingga seluruh isi kelas menatapnya dengan tatapan aneh.

Rea sudah menduga, Kaira akan merespon seperti itu.

Anna merangkul Rea, "Kenapa bisa gagal, Re?" Tanyanya baik-baik.

"Gue di culik sama Tomcat!"

"What!" Pekik Kaira.

"Tomcat sama lo, gedean lo kali, Re." Imbuh Via.

"Dia bukan Tomcat sembarangan. Dia itu siluman Tomcat."

"Terus kenapa lo masih hidup- Eh, maksud gue gimana lo bisa selamat?"

Rea menghembuskan napas kasar. Ia lupa, teman-temannya ini belum tahu, siapa Tomcat yang ia maksud.

"Siluman Tomcat yang gue maksud itu Vano."

"Apasih, Re. Tadi lo bilang siluman Tomcat, sekarang lo nyebut dia Vano. Tapi tunggu. Vano? Gue baru inget! Dia orang yang udah nyelamatin lo waktu itu, Re!"

"Gue udah tau, Kai. Gue juga udah bilang makasih kok."

"Lo kenal sama dia, Re?"

"Iya, Ann. Dia itu musuh bebuyutan gue, yang pernah adu mulut di lapangan basket. Dia nyulik gue cuma untuk nemenin dia makan es krim. Gimana gak kesel coba."

"Terus, lo gak jadi nemuin Kak Zay di lapangan?"

"Itu dia, Ann. Gue belum sempat ke lapangan. Sumpah gue merasa bersalah banget kalau sampai dia beneran nungguin gue."

"Yaelah, lebay banget lo. Palingan juga si Es Batu itu langsung pulang ke rumah. Ngapain juga dia nungguin lo di sana. Gak penting banget."

***

"Golongan 1 pada tabel periodik di sebut Alkali. Golongan 2 disebut Alkali tanah. Golongan 3 disebut Boron. Gol-" Ucap Pak Ali-guru kimia.

Para siswa sibuk mencatat apa yang telah di sebutkan oleh gurunya tadi. Namun tidak dengan salah satu siswi ini, gadis itu termenung saat gurunya menjelaskan di depan kelas.

"Zarea, golongan 2 disebut sebagai?" Pak Ali tak segan-segan melayangkan pertanyaan pada muridnya yang tidak serius di dalam kelas. Namun, Rea masih setia dengan lamunannya.

Semua pasang mata kini tertuju padanya, Anna sontak menyenggol lengan gadis itu, "Re, lo di tanyain Pak Ali." Ucapnya setengah berbisik.

"Eh? Dua puluh empat!" Ucap Rea spontan. Sontak hal itu memicu keributan di kelas. Teman-temannya menertawakan keluguannya.

Rea menggaruk pelipisnya dan tersenyum kikuk.

"Saya sedang mengajar Kimia. Bukan Matematika!" Tegas Pak Ali. Semua orang kini terdiam.

"I-iya Pak, maaf."

***

Rea menolak saat di ajak ke kantin oleh teman-temannya. Bukan karena ia tidak membawa uang jajan. Ia hanya ingin sendiri saat ini.

Saat teman-temannya sudah pergi menuju kantin, kakinya malah melangkah begitu saja.

Hingga ia tiba di belakang sekolah. Tempat dimana dia dan Zay bertemu pertama kali.

Hatinya berbisik menyuruhnya ke tempat ini.

Tidak ada yang berubah di sini. Masih sama seperti dulu. Sepi dan sunyi.

"Kak Zay..." Panggilnya, namun tak ada sahutan.

Sedari tadi, kepalanya terus saja memikirkan lelaki itu. Hatinya tidak tenang, rasa bersalah terus menghantuinya.

"Kak Zay..." Panggilnya lagi. Namun masih tak ada sahutan.

Rea sadar, sepertinya Zay memang tidak ada di tempat ini. Namun kenapa hatinya terus-menerus menuntunnya agar tetap berada disini?

"Ma-af..." Ucapnya lirih. Sontak, air matanya jatuh. Rea terisak pilu. Yang ia harapkan saat ini hanya satu, Zay ada di depannya. Apa itu bisa terwujud?

"Kak Zay... Maafin Rea." Gadis itu merosot dan jatuh terduduk di tanah.

Kenapa Rea harus selemah ini?

Ini hanya masalah sepele kan?

Lagipula Zay hanya orang asing yang mungkin saja tidak pernah menganggapnya ada.

Sekali lagi, kenapa Rea harus menangis karena lelaki itu?

"Rea gak tau, apa Kak Zay benar-benar nunggu Rea di lapangan atau enggak. Tapi entah kenapa, hati Rea selalu bilang iya."

Seorang lelaki terbangun dari tidurnya, karena mendengar suara rintihan seorang wanita. Bulu kuduknya meremang seketika. Ia sudah sering ke tempat ini, bahkan hampir setiap hari. Namun, ia tak pernah melihat siswa-siswi berkeliaran di sini, kecuali dirinya dan-

"Kak Zay, maafin Rea." Ucap Rea sesenggukan.

Zay membulatkan matanya kaget. Bulu kuduk yang tadinya meremang, kini sudah kembali ke tempatnya. Pelan-pelan ia mengintip melalui celah daun.

Ah, benar saja. Itu Rea. Gadis yang membuatnya kesal kemarin.

Gadis itu menghapus air matanya, "Kak Zay tau gak? Sekarang, Rea lagi sedih, Rea berharap Kak Zay bisa ada di sini, di samping Rea. Dengerin semua isi hati Rea, walaupun nantinya Kak Zay cuman bales singkat atau gak respon perkataan Rea, gak pa-pa." Gadis itu tersenyum miris, "Gak pa-pa Kak. Yang penting Kak Zay ada di saat Rea rapuh kayak gini." Suaranya bahkan tercekat karena terlalu banyak bicara.

Zay bisa mendengar dengan jelas seluruh ucapan gadis itu. Namun ia berusaha untuk tidak peduli. Ia kembali memejamkan matanya, sementara gadis itu terus saja menangis.

"Kak Zay? Kak Zay beneran gak ada di sini ya?" Hatinya kian menciut kala semilir angin menerpa halus wajahnya. Tidak ada siapa-siapa disini.

"Ternyata hati Rea salah. Kak Zay gak ada di sini." Ia lantas berdiri dan menepuk roknya yang kotor akibat debu.

Sudah cukup kebodohannya hari ini. Setidaknya, hatinya sedikit lebih tenang dari sebelumnya.

Ia kembali menghapus air matanya. Lantas kakinya melangkah pergi dari tempat itu.

Zay membuka matanya ketika ia tak lagi mendengar suara apapun. Ia bangkit dan melihat gadis itu sudah tidak ada lagi di tempat tadi.

Apa ini dia sudah keterlaluan pada gadis itu?


Fireflies [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now