Dua puluh dua

207K 12.8K 525
                                    

"Dingin boleh, cuek jangan. Ini hati, bukan peti mati."

***

Di sinilah Rea berada. Di dalam kamar, di temani oleh kunang-kunang kebanggaannya.

Rea harus berkutat pada buku-buku dan tugas Biologi yang menumpuk.

Kalian bisa tebak sendiri kan, tugas itu milik siapa?

Yap, tugas itu milik Reina.

Berhari-hari tidak masuk sekolah, sudah pasti Rea akan ketinggalan materi.

Tidak masalah. Rea sudah biasa di sibukkan dengan tugas-tugas yang menumpuk.

Ponselnya bergetar. Banyak notifikasi pesan yang masuk. Terutama dari ketiga temannya. Ada juga pesan lain, dari group chat kelasnya yang mengucapkan GWS padanya.

Rea senang. Namun di sisi lain, hatinya kecewa.

Dari sekian banyak pesan yang masuk, kenapa tak ada satupun pesan dari Zay?

***

Setelah tiga hari tidak sekolah. Akhirnya Rea kembali menginjakkan kakinya di sekolah.

Untungnya ia selalu datang cepat, hingga ia tak perlu jadi bahan omongan orang lain pagi ini.

"Aaaa.. Rea, akhirnya lo dateng."  Ucap Anna yang langsung berlari memeluk Rea ketika gadis itu baru saja melangkah di depan pintu.

"Ann... gue gak bisa napas..." Ucap Rea sambil memukul pundak Anna pelan. Gadis itu memeluknya terlalu kencang.

"Abisnya gue kangen sih. Gue duduk sendiri kemarin. Berasa jomblo gue. Laba-laba juga udah mulai bersarang di kursi lo, saking lamanya lo libur." Tukas Anna. Rea tersenyum simpul sembari merangkul Anna menuju tempat duduknya.

***

Rea baru saja keluar dari toilet. 5 menit lagi bel masuk berbunyi, ia bergegas menuju kelasnya.

Namun, manik matanya melihat sosok Zay sedang berjalan berlawanan dengannya.

Rea mengulum senyumnya. Berbagai asumsi positif seputar lelaki itu berputar di kepalanya.

Apakah lelaki itu akan mengucapkan GWS padanya? Oh, atau apakah ia akan menunaikan janjinya?

Sekali lagi, harapan Rea harus pupus, mengingat Zay baru saja melewatinya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Menyebalkan sekali!

Namun, di sisi lain, Rea tak tahan untuk sekedar menyapa lelaki tampan itu. "Kak Zay..." Panggilnya tanpa menoleh.

Zay yang merasa namanya di panggilpun menghentikan langkahnya dan membalikkan badan ke arah Rea. Dia tak bergeming di tempatnya, posisinya masih sama seperti terakhir kali ia berjalan tadi.

Rea pun membalikkan badannya harap-harap cemas, pasalnya lelaki itu tak merespon panggilannya.

Setelah membalikkan badan secara utuh, sontak hati Rea merasa riang gembira. Ternyata Zay menghentikan langkahnya. Yap, lelaki itu meresponnya.

Gadis di depannya hanya diam saja sambil sesekali mengulum senyum, lantas Zay segera mengeluarkan suaranya, "Apa?" Tanyanya sembari mengangkat sebelah alisnya.

Oh, tidak!

Kenapa dia harus setampan itu?

Rea tersadar dari lamunannya, "Eh? Kak Zay belum nepatin janji buat ngajarin Rea main Voli." Ucapnya lancar. Ternyata Rea sangat ahli dalam menagih hutang.

"Maaf."

Yap, hanya kata itu yang mampu terucap oleh bibir si pria tampan. Sabar Rea.

Ingat! Orang tampan selalu bebas.

Dengan sepenuh hati Rea masih tetap memaparkan senyum ikhlas di bibirnya.

"Kalau gitu kapan Kak Zay mau ngajarin Rea?"

Tak butuh waktu lama, si pria tampan itu kembali menjawab, "Terserah."

"Pas pulang sekolah aja gimana?"

"Oke."

"Di lapangan sekolah ya kak, Rea tunggu loh."

"Iya."

Rea segera pergi dari tempat itu. Hatinya berbunga-bunga saat ini. Bibirnya tak henti-henti mengulas senyum. Mungkin sebagian orang akan menganggapnya gila. Atau mungkin saja urat malunya mendadak putus.

"Kenapa lo? Kesambet?" Tanya Kaira yang memperhatikan gerak-gerik Rea sedari tadi.

Sontak Rea langsung menetralkan raut wajahnya, "Sembarangan, lo!"

"Abisnya sih, lo senyam-senyum sendiri. Merinding gue liatnya."

"Asem lo! Gue baru ketemu Kak Zay tadi."

"Oh, Es Batu."

"Yap! Gue abis bicara sama dia juga."

"B aja kali."

"Dan dia mau ngajarin gue main Voli."

Kaira membelalakkan matanya tak santai. Bagaimana mungkin Es Batu seperti Zay bisa berbaik hati kepada adik kelasnya?

"Serius, Re?" Tanya Anna, gadis itu tampak tak percaya, sama seperti Kaira.

"Dua rius malah, Ann."

"Semoga gak gagal lagi ya." Ucap Anna setengah mengejek.

"Dasar, lo Ann. Plesbek kan gue."

"Eh, Re. Lo udah tau belum, siapa yang nyelamatin lo di rooftop kemarin?" Tanya Kaira,mengalihkan pembicaraan.

"Belum. Siapa?"

"Gue denger dari anak-anak sih namanya Van.... Van.... Astaga! Gue lupa."

"Van siapa?"

"Vani kali ya?" Ucap Kaira asal.

"Yang nolong gue, cewek?"

"Bego banget sih lo, Kai. Dia cowok, lo kasih nama Vani, elah." Pungkas Anna.

"Ya mau gimana lagi. Gue lupa namanya."

"Gue pernah liat wajahnya, Re. Ituloh, cowok yang pernah adu mulut sama lo di lapangan basket." Ucap Anna.

"Maksud lo Tommy?" Tebak Rea.

"Kok Tommy sih! Gue bilang kan namanya Van....Van..." Ungkap Kaira kesal.

Rea berpikir sejenak. Tommy selalu di panggil Vano oleh teman-temannya. Apa benar lelaki itu yang telah menyelamatkannya?

***

Bel pulang berbunyi. Rea bergegas memasukkan peralatan belajarnya ke dalam tas.

"Gue duluan ya." Sahut Rea kepada ketiga temannya, dan segera berlari menuju lapangan.

"Good luck, Re!"

Rea berlari secepat kilat. Ia benar-benar tak sabar ingin belajar bermain voli dengan Zay nantinya.

Brukk!!!

Rea baru saja menabrak dada bidang milik seseorang.

"Siapa yang salah?" Ucap suara bariton khas anak remaja.

"Gue minta maaf."

"Kayaknya lo hobby banget nabrak gue."


***

Hayoo.. siapa yang di tabrak sama Rea barusan?

Fireflies [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now