Empat puluh tujuh

178K 11.6K 433
                                    

"Teruntuk hati, yang sedang sekarat namun berpura-pura terlihat kuat, demi menenangkan hati lain yang setengah melarat. Kalian hebat!"

***

10.01

Setelah lama menunggu, akhirnya Rea bisa menemukan sebuah angkutan umum yang lumayan padat isinya. Terpaksa ia berdesak-desakan di dalam sana, demi menempuh perjalanan yang lumayan jauh ke sekolahnya.

Jika penumpang lain duduk dengan tenang, maka beda halnya dengan Rea. Gadis itu mati-matian menahan berat badan orang di sampingnya. Ditambah pula, gadis itu duduk di pojok, membuat dirinya hampir saja kekurangan pasokan oksigen yang baik.

Samar-samar, Rea melihat gerbang sekolahnya dari kaca mobil, "kiri, bang!" Serunya pada sang supir.

Citttt!

Sang supir yang tidak terlalu fokus, terpaksa menginjak rem secara mendadak. Akibatnya, penumpang-penumpang di dalam sana terdorong ke depan, seirama dengan bunyi decitan ban mobil. Lantas terhempas kembali ke belakang dan membuat kepala Rea terbentur dengan dinding besi di sampingnya.

Sial sekali!

Sembari membayar tagihan ongkos, Rea mengusap kepalanya yang lumayan sakit. Terasa berdenyut di sana.

"Makanya neng, lain kali hati-hati."

Eh?

Seharusnya Rea yang mengatakan itu pada si supir.

Tidak mau memperpanjang masalah, Rea langsung berlari memasuki sekolahnya. Ia benar-benar sudah terlambat. Namun, masih ada beberapa murid beserta orang tuanya di sekitaran sini.

"Ibu Niken!" Panggilnya. Ia berlari di sepanjang koridor. Wali kelasnya itu baru saja keluar dari kelasnya, sembari membawa beberapa buah rapor di tangannya.

"Rea? Kenapa terlambat? Mana orang tua kamu?"

Rea berhenti di hadapan sang guru sambil mengatur napasnya yang terengah-engah, "Rea mau ngambil rapor tanpa orang tua, Bu." Jawabnya polos.

"Maaf, Rea. Rapor ini akan Ibu berikan bersama dengan orang tua mu." Niken tetap tersenyum manis pada Rea. Guru cantik itu masih terlihat awet muda di usianya yang sudah menginjak kepala empat.

"Tap-tapi, Bu. Orang tua Rea gak bisa hadir sekarang."

Niken merangkul bahu Rea, "Rea, Ibu ini wali kelas kamu. Tentu saja Ibu ingin berkenalan dengan orang tua dari siswa-siswi Ibu. Jadi, kenapa orang tua kamu tidak bisa hadir?"

"Orang tua saya ..." Ia terdiam sesaat, "sibuk, Bu." Lanjutnya, bohong.

"Sesibuk-sibuknya orang tua, mereka pasti mau meluangkan waktunya sebentar untuk anaknya. Terlebih lagi untuk siswi berprestasi seperti kamu, Rea."

Rea terdiam.

"Ibu ke kantor dulu." Niken mengusap pelan bahu Rea, sebelum akhirnya melangkah pergi.

Perkataan dari sang guru, masih membekas di ingatannya.

"Apa Bunda pantas disebut sebagai orang tua Rea?" Batinnya. Gadis itu menggeleng kuat. Bodoh sekali pertanyannya.

Rea melangkah sedih. Entah sampai kapan ia akan tahu hasil belajarnya selama setengah semester lalu. Dia juga termasuk dari siswi pada umumnya. Tentu saja ada rasa keingintahuan yang terbesit tentang nilainya.

Gadis itu berhenti dan bersandar di tiang koridor. Manik matanya melihat seorang siswa yang habis diomeli oleh Ibunya. Mungkin karena nilainya.

Rea tersenyum miris. Ia juga ingin seperti itu. Ia juga ingin dekat lagi dengan Bundanya.

Fireflies [Sudah Terbit]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant