Tujuh puluh empat

179K 11.5K 2.4K
                                    

"Serpihan hati yang retak tidak akan kamu temui di antara sengatan matahari senja. Kamu dapat menemuinya nanti di antara rintik hujan suatu waktu."

***

"Akhirnya sampai ..." Kaira merentangkan tangannya. Butuh waktu yang cukup lama hingga mereka tiba di tempat ini. "Pantat gue pegel, serius."

"Hush! Kai. Jaga omongan lo!" tegur Anna. Sementara gadis itu hanya cengengesan.

Rea menatap pemandangan di hadapannya dengan terpukau. Dia mengucap syukur di dalam hati. Ia harap, liburan kali ini akan memberikan efek pada otak dan juga hatinya.

"Ayo naik." Ucap Vano yang mengajak para gadis itu untuk bergabung bersama wisatawan lainnya.

Baru saja memulai perjalanan, Kaira dan Via langsung heboh karena melakukan live streaming di Instagram. Benar-benar memalukan.

Vano tampak santai berjalan di depan mereka. Rea dan Anna berjalan beriringan.

"Masih kepikiran?" Tanya Anna, membuka obrolan. Rea hanya bungkam. Sedari tadi ia enggan untuk membuka maskernya.

"Udah ya. Jangan dipikirin lagi. Lo inget kata-kata gue dulu kan? Itu artinya, Kak Zay emang gak pantes buat diperjuangin." Gadis itu menepuk pundak Rea pelan, lantas merangkulnya. "Yuk, semangat! Perjalanan kita masih jauh."

***

Tak terhitung sudah berapa lama mereka berjalan. Sepertinya mereka tertinggal jauh dari rombongan lainnya. Itu semua karena rombongan mereka didominasi oleh kaum betina. Banyak waktu yang mereka buang hanya untuk beristirahat.

"Guys. Kalau jalan, tolong jangan sambil melamun. Soalnya ini pendakian, banyak akar-akar serabutnya." titah Vano. Yang lain hanya mengangguk.

Rea berjalan paling belakang. Tubuhnya benar-benar terasa lemas. Kepalanya terasa berputar. Gadis itu hampir saja jatuh jika tidak berpegangan pada batang pohon. Sementara Anna sudah sedikit jauh darinya.

Ia memaksakan diri untuk kembali berjalan. Namun, tanpa sengaja ia tersandung oleh akar besar hingga terguling ke bawah.

Bunyi jatuh yang lumayan keras, mampu membuat teman-teman di depannya menoleh ke belakang.

"Astaga, Rea!"

Mereka kembali turun beberapa meter. Rea sudah terkulai lemas. Untung saja tubuhnya bisa tertahan oleh dahan pohon. Namun tetap saja, ada bagian yang terluka di tubuhnya.

Masker yang ia gunakan untuk menutupi sebagian wajahnya kini terbuka sempurna, menampilkan wajah Rea yang jauh dari kata baik-baik saja. Lingkaran hitam yang jelas di bawah matanya, plus mata sembab, belum lagi hidungnya yang memerah mampu menambah kesan buruk di wajahnya.

"Astaga, Re! Wajah lo ..." Anna terpekik kaget melihatnya.

Vano turun tangan untuk membantu gadis itu. "Gue udah bilang, jangan ngelamun!" Bentaknya sedikit keras.

Sementara Rea tak mampu berkata-kata. Vano membopongnya.

"Nas, tolong bawain ranselnya." Ucap Vano yang berjalan membawa dua beban. Rea di belakangnya dan ransel miliknya yang ia sandang di depan.

Anna speechless. Kenapa Vano bisa seperhatian itu pada Rea yang notabennya adalah musuhnya sendiri.

Via berjalan tepat di belakang mereka. Ia memandang tak suka pada dua orang di hadapannya.

"Ih, kan! Hp gue jadi lowbat gara-gara di pakai buat nge-live tadi. Lo sih!" Teriak Via sembari menatap Kaira di sampingnya dengan sinis.

Fireflies [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang