Tiga puluh satu

201K 14K 1.6K
                                    

"Dear my heart. Jangan kebanyakan nyakitin diri. Toh, dianya juga gak peduli."

***

Perlombaan demi perlombaan telah selesai dilaksanakan. Termasuk dengan ketiga sahabatnya, mereka tampak puas karena berhasil memenangkan lomba itu. Apalagi Kaira. Tentu saja dia menang, gadis itu hanya mengikuti lomba makan kerupuk, bukan lomba panjat tebing.

Rea meremas sisi roknya. Gadis itu terlihat gugup. Perlombaan puisi sedang dilaksanakan saat ini. Rea kembali melihat teksnya. Tadi malam, ia belum sempat latihan dengan maksimal.

"Lo harus semangat, Re." Anna menggenggam tangan Rea yang mendadak terasa dingin.

"Lo pasti bisa kok, Re." Ucap Via. Rea hanya membalas dengan senyum sekedarnya.

"Kalau lo berhasil tampil, gue traktir di kantin deh. Lo boleh makan sepuasnya. Tapi cuma sehari loh ya." Kaira cengengesan, gadis itu hanya berusaha membangkitkan semangat Rea. Lagipula, mana ada manusia yang tidak suka jika ditraktir.

"Tumben lo baik, Kai?" Tanya Anna.

"Ya iyalah, dia kan abis menang lomba makan kerupuk. Gue yakin, dia make amplop itu buat nraktir si Rea." Tebak Via, asal.

Kaira terkekeh kecil, "Tau aja lo, Vi." Nah, kan. Sudah mereka duga.

"Baiklah, kita panggil peserta terakhir, Zafana Zarea Aisyah."

Gleg!

Rea menelan salivanya dengan susah payah. Keringat dingin mulai membasahi wajahnya. Kakinya bergetar. Astaga! Kenapa Rea harus separah ini.

"Semangat, Re!" Dukungan dari ketiga sahabat, juga dengan teman sekelasnya  mengiringi langkah Rea menuju panggung.

Kakinya bergetar hebat, begitu pula dengan tangannya. Rea mendadak tidak bisa berkutik. Ini, kali pertamanya ia membacakan puisinya di depan banyak orang. Kalau saja bukan dipaksa, sudah lama Rea mengundurkan diri.

Brukk!!!

Rea tersandung salah satu kabel, dan terjatuh.

Astaga!

Memalukan sekali!!!

Padahal dia belum mulai membacakan puisinya. Namun lagi-lagi keberaniannya mendadak pupus, kala mendengar suara riuh tawa dan cemoohan lantang dari berbagai siswa yang didominasi oleh kalangan kakak senior.

"Apasih, lemah banget!"

"Kalau gue jadi dia sih, mending turun."

"Udah tau gak pede masih juga ikutan. Bego atau gimana sih!"

"Kocak banget, tu anak mau stand up comedy kayaknya."

Rasanya, Rea ingin menangis sekarang. Arisa naik ke atas panggung dan membantu Rea untuk berdiri. Sebenarnya, Rea bisa saja melakukannya sendiri, namun ia sudah terlanjur malu.

"Re, gugup itu biasa. Apalagi untuk orang yang gak terbiasa. Anggap aja orang-orang di depan kamu ini, hanyalah kumpulan semut. Jangan hiraukan kalimat-kalimat sampah mereka. Fokus pada puisi kamu. Prioritaskan satu titik yang menjadi pemicu semangat kamu pada lomba ini. Bayangkan wajahnya. Kamu harus bisa mendalami puisi ini dengan baik." Arisa memberikan petuah-petuah baik kepada Rea, berharap adik kelasnya ini bisa sukses membacakan puisinya kali ini.

Memang Arisa akui, bahwa Rea memiliki bakat terpendam di salah satu bidang Bahasa Indonesia tersebut.

Rea memejamkan matanya sebentar, lalu mengangguk mantap. Arisa menepuk pelan bahu Rea, lantas segera turun dari panggung.

Fireflies [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now