Tiga puluh enam

198K 12.4K 1.2K
                                    

"Jika memang tidak bisa menyimpan namaku di hatimu. Cukup simpan aku di kontak WA mu saja."

***

Rea berjalan menuju gerbang sekolah. Setidaknya, sebagian hatinya sudah mulai lega sekarang.

Tok!

Bunyi nyaring itu mampu membuatnya menoleh ke belakang. Namun, ia kembali memalingkan wajahnya ke depan saat tahu orang di belakangnya ternyata adalah si Tomcat nakal.

Bunyi nyaring tadi berasal dari letupan permen karet yang sedang ditiup oleh lelaki itu.

Tapi, tunggu. Darimana dia mendapatkan permen karet itu? Bukankah hari ini stok permen karetnya sudah habis?

Persetan dengan semua pertanyaan yang mengganjal di benaknya. Rea lebih memilih bodo amat.

"Oi."

Rea sengaja menulikan telinganya. Dia sedang malas berdebat sekarang.

"Bekal gue balikin."

Rea menghentikan langkahnya. Lantas memeriksa tasnya, berniat mengambil kotak bekal milik pria gila itu.

Rea menyodorkan kotak bekal kosong itu pada Vano.

"Besok aja deh gue ambil. Males berat-beratin tas."

"Setan lo!"

"Gue bukan setan, gue Vano. Lo tuh yang setan. Lo kan Hantu merah!" Balas Vano sembari mengacungkan jari tengahnya di udara.

Rea mengepalkan tangannya. Setan tengil itu sudah membuang 5 menit berharganya. Sialnya, Rea malah terperdaya.

***

Rea baru saja tiba di depan kelasnya. Namun ia sedikit heran, melihat pintu kelasnya yang tertutup.

Dilihatnya jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 06.30 pagi. Mungkin saja, pintu itu tertutup karena belum ada siswa yang datang.

Yap, Rea lebih unggul pagi ini.

Ia memutar kenop pintu. Tidak terkunci. Dengan senang hati ia mendorong pintu itu.

Namun, ia terkejut saat melihat Via dan Arlan sudah tiba lebih dulu darinya.

Yang membuat Rea terkejut adalah posisi mereka saat ini.

Arlan duduk di kursi Kaira. Lelaki itu sedang mendekatkan wajahnya pada Via. Entah apa yang mereka lakukan, Rea tak bisa melihatnya karena terhalang oleh tubuh Arlan yang sedang membelakanginya.

Lelaki itu bahkan memegang kedua tangan Via. Pergerakan Via terkunci.

"Via?" Panggil Rea tanpa dosa.

Hal itu sontak membuat Arlan menjauhkan tubuhnya dari Via, lantas menatap Rea dengan tatapan datar.

Apanya yang salah? Rea hanya memanggil Via. Kenapa Arlan yang marah?

Via tampak sedang mengatur napasnya yang tampak memburu, entah karena apa. Pipinya memerah.

Lelaki itu lantas pergi keluar kelas. Rea bahkan masih tak mengerti di mana letak salahnya. Ia kembali melanjutkan langkah menuju kursinya.

Via berdiri merapikan pakaiannya yang sempat berantakan.

"Lo lihat semuanya, Re?"

"Lihat apa?"

"Ah, lupakan."

Via lantas beralih untuk duduk di kursi Anna, tepatnya di samping Rea.

Suasana menjadi awkward saat ini. Tidak ada obrolan lagi semenjak beberapa menit yang lalu. Rea terdiam. Via juga begitu. Mereka sama-sama diam.

Fireflies [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now