Lima puluh

183K 11.7K 756
                                    

"Untukmu, si pemilik hati yang buta. Maaf, karena telah lancang mencintai ragamu."

***

"Mas Revan..." Suara Rifa semakin meninggi, kala tak mendengar sahutan apapun, sampai-sampai Reina keluar dari kamarnya.

Rea gelagapan bingung. Sudah lama sekali, Bundanya tidak bereaksi seperti ini.

Reina yang tidak tahu apa-apa pun hanya bisa diam saja.

"Di mana mas Revan?" Kedua mata Rifa mulai memerah. Nada bicaranya juga meninggi. Astaga, apa yang harus Rea lakukan sekarang?

"Di mana mas Revan?!" Ulang Rifa, lagi. Kali ini, ia mendelik tajam pada Rea.

"Bu- bunda, Ayah udah gak ada."

"Apa maksud kamu?!" Rifa mengangkat telunjuknya ke arah Rea. Dia murka.

"Ayah udah gak ada, Bunda. Ayah udah meninggal."

Plak!!

Rea memegang sebelah pipinya yang terasa panas.

"Lancang kamu! Suamiku belum mati! Di mana dia? Cepat katakan!" Rifa mengguncang kedua bahu Rea dengan kasar.

Ternyata Rifa masih belum bisa melupakan kejadian enam tahun silam. Sama seperti Rea. Mereka sama-sama terpukul. Tapi, kenapa Rea yang harus jadi pelampiasan di sini?

"Ayah udah meninggal, Bunda. Ayah udah tenang-"

Plak!

Plakk!!

"S-sakit, Bunda." Rifa menjambak rambut Rea berulang kali. Kepalanya terasa berdenyut.

Reina yang sudah biasa melihat pertengkaran itu seharusnya bersikap biasa saja. Namun, kali ini Mama tirinya itu sudah keterlaluan. Wanita itu belum pernah semurka ini sebelumnya.

"K-kak Rein, to-tolongg!!" Ujung bibir kanan Rea kini robek. Kedua pipinya lebam. Seluruh badannya terasa remuk. Kepalanya terasa ingin pecah sekarang. Kedua tangan Rifa bahkan masih mencengkram erat rambutnya.

Reina menuruni tangga tergesa-gesa, lantas berusaha menjauhkan Rifa dari Rea, "ini udah keterlaluan, Ma."

"Minggir!" Rifa berusaha menepis Reina yang sedang melerainya, "anak ini memang pantas mati! Dia sudah menyembunyikan suamiku!"

Reina mengernyit heran. Jujur, dia sama sekali tak pernah tahu dengan masa lalu keluarga Rifa. Itu karena Rifa tak pernah menceritakan apapun padanya. Namun, di sisi lain, dia kasihan melihat kondisi Rea seperti itu. Walaupun Rea hanya sebatas adik tirinya, naluri manusiawinya masih berfungsi dengan baik.

"Mati! Dia pembunuh! Pembunuh harus dibunuh!"

Reina berhasil menahan kedua tangan Rifa dan membawanya agar menjauh dari Rea. Wanita itu nyaris kehabisan tenaga, namun mulutnya masih tetap meracau.

Rea terduduk di lantai. Hati kecilnya teriris kala melihat Bundanya menderita.

Rifa benar. Rea memang anak bodoh. Seharusnya Rea tidak mengatakan itu tadinya.

"Lepas! Dia harus mati!" Bahkan dengan sisa-sisa tenaga yang tidak seberapapun, Rifa masih tetap memberontak.

Rea menangis. Bukan karena sakit di tubuhnya. Tapi batinnya. Sungguh, dia tidak tega.

"Bun-da." Setetes, dua tetes air, keluar dari pelupuk matanya.

"Mati!"

"Re, mending kamu pergi sekarang." Reina masih berusaha menahan Rifa.

Fireflies [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang