Lima puluh dua

186K 11.6K 1.1K
                                    

"Entah di bumi sebelah mana yang kau singgahi. Yang jelas, jejak rindu itu masih membekas di sini."

***

Rea keluar dari kamar Reina. Badannya terasa letih. Ia baru saja membersihkan ruangan itu.

Ia berniat mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Namun, saat hendak menuju kamarnya, ia berhenti tepat di kamar Rifa, kamar Bundanya.

Gadis itu menatap lekat pintu bercat putih di depannya.

Masuk tidak, ya?

Ia sedikit menimbang-nimbang. Lalu menoleh ke kanan-kiri.

Ah, bodoh sekali!

Rea menepuk jidatnya. Ia lupa jika di rumah ini tidak ada siapapun selain dirinya.

Tanpa membuang waktu lagi, ia memutar kenop pintu dan masuk ke kamar itu.

Hal pertama yang ia lihat adalah sebuah bingkai foto berukuran besar yang berisi foto pernikahan Rifa dan ... Ah, Rea benci menyebutkannya.

Lelaki yang berstatus suami Rifa saat ini adalah dokter kejiwaan sekaligus teman masa SMA Rifa dan Revan dulunya.

Rea memang sangat bersyukur, karena Rizal dapat membantu proses pemulihan penyakit yang diderita Bundanya saat itu.

Terlebih lagi, dalam waktu yang bisa dibilang cepat. Namun, sisi buruknya, Rifa benar-benar lupa dengan Revan. Dan tak lupa membenci Rea.

Kehidupan Rea berjalan normal. Hidup sendiri diselingi dengan umpatan-umpatan tajam dari Rifa membuatnya sangat terbiasa.

Hingga Rizal datang dan mengajak Rifa menikah dengannya. Tentu saja Rifa menerimanya dengan senang hati, terlebih dulunya dia juga sangat mengenal Rizal.

Rifa menikah dengan Rizal.

Tapi bukan itu yang Rea mau. Kenapa Bundanya harus menikah dengan lelaki itu?

Ingin sekali rasanya Rea menentang pernikahan itu. Tapi apalah daya, Rea bukan apa-apa.

Setelah acara pernikahan selesai, mereka pindah ke rumah besar milik Rizal. Hingga saat ini, Rea masih bertanya-tanya, ke mana rumah kecilnya yang dulu? Apa sudah dijual atau bahkan dihancurkan oleh Rizal?

Hampir saja Rea lupa diri.

Rifa memang harus bahagia. Apapun caranya. Sekalipun harus memberikan hidup Rea, jika itu membuat Bundanya senang, maka akan ia berikan sepenuh hati.

Rea membuka lemari dan mengambil salah satu baju milik Bundanya.

Aroma dari pakaian itu ia hirup kuat-kuat, lantas ia peluk.

"Rea rindu dipeluk Bunda."

***

Silau cahaya matahari pagi membuat Rea membuka matanya, sipit.

"Hoaam ... Udah pagi ya?" Gadis itu menguap lantas sedikit menggeliat di tempat tidur.

Tapi tunggu.

Seperti ada yang mengganjal. Kasurnya terasa lebih lebar dari biasanya.

Ah, sudahlah. Lebih baik lanjutkan tidur saja, barang sebentar. Lagipula hari ini, hari libur.

Dengan kondisi masih memejamkan mata, ia mengambil sebuah benda yang mirip guling di sampingnya, lantas memeluknya. Nyaman sekali.

Tapi, tunggu.

Sejak kapan dia punya guling di kamarnya?

Rea membuka matanya sempurna, lantas terduduk.

"Astaga! Gue ketiduran!"

Fireflies [Sudah Terbit]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt