Siska House

55.3K 3.3K 228
                                    

Gua gak pernah menyangka ketika masuk STM gua bisa dekat dengan mahluk yang namanya perempuan. Iya bener! Sekarang gua lagi deket sama gadis yang namanya Fransiska. Ternyata pertemuan tidak sengaja di dalam bus dua bulan yang lalu berpengaruh besar di kehidupan gua. Sudah beberapa malam ini gua juga sering di ajak nongkrong ke rumah Fransiska di tanah baru. Ternyata dia itu anak rumahan yang jarang punya teman selain teman di sekolahan. Bahkan Fransiska itu gak pernah keluar malam, makanya kalau dia bosan, Fransiska biasa mengajak temannya untuk nongkrong di rumahnya.

Seperti malam ini gua pergi ke rumah Fransiska dengan menggunakan motor butut yang gua beri nama si bangke. Motor yang bersejarah buat keluarga gua. Sebab ini motor udah di pake dari jaman kakek gua masih suka ngetrek di jalan, sampai akhirnya di wariskan ke gua. Makanya gua sangat sayang dengan motor butut warisan kakek.

Gua mengendarai motor sebagaimana anak-anak muda Jakarta yang sedang puber. Yaitu ngebut! Seringkali gua di stop polisi lalu lintas karena kebut-kebutan, tapi sering kali pula dibebaskan begitu saja, karena polisi gua berikan alasan yang masuk akal. Selain itu gua suka menyelipkan uang dua puluh rebu buat damai. Tentunya dua puluh ribu jumlah yang cukup lumayan ketika jaman itu.

Dalam tempo tiga menit gua sudah sampai di Jalan Timbul dan terus meluncurkan motor ke arah Cipedak. Keuntungannya ke Tanah Baru adalah jalanan trek lurus. Jadi gua gak perlu nikung kanan atau nikung kiri dengan dengkul yang menyentuh aspal bak seorang Valentino Rossi kebelet berak.

Ketika sampai di pertigaan Tanah Baru, gua mengambil belokan ke kanan, mendadak ban motor kempes. Gua menghentikan motor dan memeriksa ban depan yang sudah loyo penampakannya. Gua mendapati sebuah paku besar menancap di ban.

"Dasar paku sialan, malem-malem begini bikin kempes ban motor gua!" gua menggerutu sambil berusaha mencabut paku itu. Tapi tidak bisa! Karena paku itu menancap dan bengkok di dalam ban.

Dengan kesal gua menuntun motor ke arah tukang tambal ban yang membuka bengkel 50 meter setelah pertigaan di sisi kiri jalan.

"Malem-malem begini kena musibah rupanya..." kata tukang tambal ban seorang muda asal Medan.

"Iya. Musibah gua kan rejeki lu, Bang! Bisa banget lu omong musibah-musibahan," jawab gua setengah dongkol dengan tubuh berkeringat dan nafas terengah-engah.

Gua memarkir motor di depan tukang bengkel yang tersipu-sipu mendengar kata-kata gua barusan.

"Kena paku rupanya? Di mana?" Tanya tukang tambal ban.

"Di Jatinegara!" sahut gua setengah tak peduli, "Gua tinggal ini motor, nanti agak maleman gua ambil," kata gua pada tukang tambal ban yang bengong itu.

Tanpa banyak kata gua berjalan pergi meninggalkan bengkel beserta tukang tambal bannya. Gua menyambung perjalanan yang memang gak seberapa jauh lagi dengan hati sedikit kesal.

Gua berjalan kaki, setapak demi setapak bagaikan biksu Tong Sam Cong yang berjalan ke barat guna mencari kitab suci. Gua bersiul-siul menghilangkan kesal, sambil kedua buah tangan berada di dalam saku jeans. Seorang pengendara motor dari arah belakang berhenti di dekat gua. Lalu menekan klakson panjang. Sehingga membuat gua tersentak kaget.

Ketika gua menoleh ingin mengumpatnya, ternyata dia adalah Bagol! Temen satu tongkrongan gua juga di pertigaan Warchild. Nama aslinya sih Ryan tapi karena kapasitas kepalanya yang besar melebihi dosis itu yang kerap di juluki Bagol.

"Woi, kang beling! Mau kemana lu jalan kaki di tempat beginian? Kemana motor lu? Di gadein?" tanya Bagol yang tampaknya terkejut mendapati gua ada di daerah Tanah Baru ini.

BADJINGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang