Kecewa

43.8K 2.5K 171
                                    

Desember, 2004

Pertengahan Desember 2004. Entah di hari apa, tapi yang jelas sore hari setelah kami pulang sekolah, sepanjang jalan palapa, komplek sekolahan kami habis di guyur hujan deras. Masih tersisa rintik-rintik hujan yang turun. Gua dan Fransiska berjalan berdampingan menujuh jalan besar Pasar Minggu tanpa menghiraukan gerimis yang mengenai tubuh kami berdua.

Wajah gadis itu terlihat kecewa, kesal, dan marah dari awal kami berbicara di depan gerbang sekolahannya. Awalnya gadis itu meminta gua untuk pulang bersama-sama tapi seperti biasanya gua menolak ajakan itu dengan alasan harus ikut basis. Entah kenapa untuk kali ini dia tidak merima seperti biasanya dan langsung menunjukan rasa tidak sukanya.

"Kenapa sih lo harus ngebasis? Kenapa gak kaya pelajar-pelajar lain pada umumnya? Kaya gak ada kerjaan lain aja! Seharusnya masa sekolah ini lo fokuskan untuk belajar, bukan malah ngebasis atau tawuran yang gak jelas juntrungannya!" seru gadis itu dengan wajah marah plus kecewa.

Gua diam saja ketika dia sedang marah. Gua hanya berjalan sambil menundukan kepala tanpa satu kata pembelaan keluar dari mulut ini.

Memang semua ucapan Fransiska ada benarnya. Tapi ada beberapa hal yang tidak Fransiska mengerti. Semua tidak se-simple ikut atau tidak ikut basis, tawuran atau tidak tawuran. Berulang kali gua berusaha menghindari tawuran, tapi kondisi di jalur tidak pasti, kadang kami selalu di hadang dan terpaksa turun untuk membela diri atau pun harga diri Basis dan Sekolahan.

Kalaupun berangkat atau pulang sekolah sendirian bahayanya bisa dua kali lipat dari bergerombol, kita bisa saja kena palak atau di pukuli di dalam angkot. Apa lagi seiring berjalannya waktu hubungan emosional antara gua dengan anak-anak Basis semakin kuat dan tidak mungkin gua meninggalkan mereka.

Semua itu demi menjunjung nama kesolidaritasan. Gua bukannya mau sok setia kawan atau sok jagoan. Tapi menurut gua hidup gak akan berarti kalau kita tidak mempunyai prinsip! Prinsip gua adalah kesetiakawanan. Karena yang paling penting dalam hidup adalah persahabatan. Sekiranya itulah prinsip gua saat masa-masa labil dulu. Memang terdengar sangat Naif...tapi memang seperti itu yang gua rasakan.

"Kenapa diam aja? Jawab dong pertanyaan gue?" Katanya memaksa.

"Gua gak bisa jawab Frans..tapi semua yang lu omongin itu memang benar,"

"Kalau begitu lo tinggalin dong kehidupan lo yang seperti ini!"

"Gak sesimple pemikiran lo Frans..."

"Gak simple kaya gimana maksud lo? Tinggal keluar dari Basis terus hidup yang lurus kok susah banget! Kadang gue gak ngerti sama jalan pikiran lo!"

"Gua gak mungkin ninggalin begitu aja temen-temen Basis gua. Mereka juga baik sama gua, mereka care sama gua, mereka mengerti ketika gua lagi senang ataupun sedih. Kalau gua ninggalin mereka apa bedanya gua seperti pengkhianat?"

"Romi...Temen yang baik itu bukan orang yang akan menjerumuskan temannya ke lubang yang salah. Dan menurut gua temen-temen lu itu bukan orang baik-baik, mereka gak peduli akan keselamatan lo dan masa depan lo! Lagian di otak mereka itu cuma ada pikiran tawuran, tawuran, dan tawuran! Gua heran memangnya kalian gak punya rutinitas lain yang bisa di lakukan? Kok hidup penuh dengan kekerasan. Apa kalian gak jenuh? Atau memang itu satu-satunya yang bisa kalian banggakan? Lama-lama gue jadi kasian sama hidup kalian!"

Gua terbungkam dan sangat tidak mau menjawab pertanyaan seperti itu.

Gua tahu Fransiska sedang panas!

Jadi gua gak mau memperparah kondisi saat ini. Maka dari itu diam adalah pilihan yang terbaik. Bukankah orang bijak sering bilang, diam adalah emas?

BADJINGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang