Darah Yang Mengalir

40.7K 2K 350
                                    

Sorot mata liar memandang setiap kendaraan yang melintas. Rokok yang tinggal setengah di hisap kuat-kuat. Pemuda berusia 17 tahun berdiri di depan stasiun kereta seberang terminal Pasar Minggu. Satu gelas minuman keras murah bermerk anggur cap orang tua di tenggak habis.

Kepala panas dan hati yang resah bercampur menjadi satu. Di dalam hati pemuda itu berkata, 'Inilah hari pembalasan yang di tunggu, setelah penantian panjang selama berbulan-bulan lamanya..'

"Rom, anak-anak Basis kita udah pada kumpul! Anak kelas satu, dua dan tiga udah gua siapin. Kita lagi full basis nih," beritahu Erik Banjir.

Gua diam sebentar masih tetap melayangkan pandangan ke jalan raya yang ramai dengan pikiran tidak tenang.

"Kondisi jalur ke arah sana gimana?" Tanya gua ke Erik Banjir.

"Jalur kosong. Gak ada satu polisi pun,"

"Yakin lu?"

"Yakin. Anak kelas satu udah gua suruh cek setiap jalur yang bakal kita lewatin,"

Masalahnya jalur yang bakal kita lewatin biasanya banyak banget polisi. Sedangkan di basis gua sendiri lagi banyak yang bawa barang (perlengkapan tawuran) bisa repot kalo ke tangkep. Makanya penyerangan kali ini harus terencana dan tidak boleh salah sedikit pun.

Zikri menepuk pundak gua. "Ayo Rom, kita jadi nyerang gak? Jangan kelamaan di sini, mau ujan,"

"Jadilah.." jawab gua yang sebenarnya merasa tidak yakin.

"Basis 63 depok mau gabung sama kita buat nyerang AL. Mereka udah siap berangkat," kata Zikri memberitahu.

Gua tidak begitu merespon ucapan Zikri karena dari awal gua sudah tahu. Bule sebagai pentolan anak depok sudah bilang ke gua ketika istirahat tadi kalau basisnya mau gabung buat penyerangan kali ini.

Gua hanya memandang gadis yang raut wajahnya terlihat cemas. Dari tadi Fuji terus memandang ke arah langit. Wajahnya tampak khawatir karena cuaca yang mendung sejak tadi.

"Kenapa Ji? Muka lu kaya gak yakin gitu?" Tanya gua.

"Nggak apa-apa kok," jawabnya tidak ingin memperlihatkan rasa kecemasannya.

"Kalau hari ini lu ngerasa gak yakin, gak apa-apa kok gak usah ikut kita,"

"Iih santai kali Rom, gue kan biasa aja," katanya sambil tertawa.

Tapi tetap tidak menghapus rasa kecemasan di wajahnya.

"Gimana nih berangkat gak?" Agus Tengik menghampiri gua sambil membawa tas boogie besar di pundaknya.

Gua menarik nafas dalam-dalam lalu menjawab. "Oke, kita berangkat sekarang! Gus, stop angkot!"

"Beres!"

Agus langsung ke tengah jalan bersama beberapa anak kelas dua guna membajak angkot yang melintas.

       Agus langsung ke tengah jalan bersama beberapa anak kelas dua guna membajak angkot yang melintas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BADJINGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang