Setan Jalanan

33.7K 1.9K 30
                                    

Malam hari yang mendung memayungi Jl. Rasuna said Kuningan, Jakarta. Lampu-lampu jalan dan gedung menjulang tinggi menambah keindahan malam ini. Gua, Okib, Buluk, Endank, Bastian, dan Bagol menaiki motor masing-masing dengan kecepatan tinggi di jalan raya kuningan.

David Muray dan Fransiska yang naik berboncengan menyusul dari belakang, menyalip satu persatu dari kami.

Gedung demi gedung kami lewati dengan kecepatan kencang.

Sampai memasuki jalan Hos. Cokroaminoto dan melintasi jembatan kali ciliwung kami terus salib menyalib tanpa jeda. Persis setan jalanan ketika sedang kebut-kebutan liar di jalanan.

The Jin tertawa gembira, menari di tengah jalanan, menyelip-nyelipkan motor di sela-sela kendaraan yang melalu-lalang. Seakan-akan menertawakan maut yang sesekali mengintai dari balik punggung kami.

Wajah tampan dan cantik yang cerah terlihat jelas. Bercanda di sepanjang jalan merupakan sikap kemerdekaan yang di artikan oleh para orang tua kolot sebagai berandalan atau premanisme. Tapi kami tidak pernah peduli itu.

Gua memang sedang merasa tidak enak pikiran, karena merasa di permainkan oleh Ika. Jadi malam ini gua mau melampiaskan semua kemarahan dengan perbuatan anarki.

Sumpah gua merasa di bodohi selama ini. Sikap manis dan baik hatinya itu ternyata suka mempermainkan hati. Memang Ika gak sepenuhnya salah. Karena Ika bukan kekasih gua. Punya hak apa ngelarang-larang dia? Mau jalan dan suka sama siapa itu urusannya...

Kami sudah mulai memasuki daerah lampu merah di perempatan Taman Menteng.

Lampu menunjukan warna kuning lalu berganti merah.

Kendaraan-kendaraan berhenti.

Tapi the Jin langsung saja tancap gas membelok ke arah kanan. Ke jl. Sutan syahrir memotong kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan yang sedang dapat giliran untuk melaju.

Suara klakson berbunyi beruntun dari beberapa kendaraan yang terpaksa harus berhenti mendadak. Suara umpatan-umpatan juga ikut mewarnai keceriaan malam ini.

"Bangsat lo!!" seorang pengendara mobil memaki gua yang hampir di tubruknya.

Tapi gua tidak menggubris cacian itu. Demikian pula kawan-kawan lainnya. Kami sudah terlalu sering mendengar caci maki orang jadi walau di caci maki sudah tidak terlalu berpengaruh.

Kami tetap ngebut di sepanjang jl. Sutan syahrir ke arah jl. Teuku umar seakan mengejek rumah-rumah mewah yang berjajar rapih di sepanjang kiri jalan.

Sampai di pertigaan jl. Teuku umar kami belok kiri menuju jl. bundaran kolam air mancur menteng dan memutarinya lalu meluncurkan motor menujuh taman suropati.

Kami masih mengebut dan terus salib-menyalib, memotong jalan raya yang lurus sambil tertawa-tawa.

Di kanan-kiri jalan banyak perumahan-perumahan mewah dengan petugas security yang mendelik mendengar bisingnya knalpot motor kami. Mobil-mobil mewah atau rakyat kelas menengah ke bawah yang berada di atas kendaraannya masing-masing memaki dengan kami kasar, nyaris serempak, ketika kami dengan seenak hati memotong jalan mereka.

"Hei! Anjiiiing!" seorang pemuda yang menyetir BMW berwarna hitam memaki kami.

"Bapak lu yang anjing!" Balas gua memaki sembari meluncurkan motor lebih ganas.

Pengendara BMW itu membunyikan kelakson panjangnya, lalu mengebut berusaha mengejar motor gua. Pemuda itu membuka jendela dan melemparkan makian-makian kejam yang menjurus ke arah kelamin.

BADJINGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang