Penyesalan & Ketakutan

31.7K 1.9K 75
                                    

Di dalam angkot 616 kami semua terdiam dengan wajah yang pucat. Tidak ada satupun yang berbicara di antara kami. Seakan kami semua tidak saling kenal satu sama lain. Hanya terdengar suara deru mesin angkot di sepanjang jalan.

Sampai pada saatnya Dika mulai memecahkan keheningan.

"Anak itu kayanya mampus deh.."

"Ah, yang bener lu?" tanya Erik dengan muka yang pucat.

"Beneran deh, gua liat anak yang Romi bacok tadi badannya agak kejang-kejang gitu. Dari mulutnya terus ngeluarin darah. Kayanya sih bakal lewat tuh bocah,"

Terasa menciut nyai gua mendengar itu.

Terasa hancur hati ini ketika mendapat kenyataan gua telah melakukan sebuah dosa besar.

"Bisa gawat kalau begini urusannya, Rom! Polisi pasti gak bakal tinggal diam," kata Agus Tengik resah.

Perasaan takut dan gelisah menjadi satu.

Gejolak rasa bersalah yang teramat besar muncul mengejar-ngejar diri gua.

Zikri menepuk pundak gua dari belakang. "Rom, kita balik atau nongkrong dulu di pedak?"

Gua diam sambil menundukan kepala. Saat ini gua sedang tidak bisa berfikir, gua benar-benar di kejar rasa bersalah.

"Balik aja Zik, kalau yang Dika omongin bener. Malam ini pasti polisi bakal dateng ke tongkrongan kita dan tongkrongan basis depok," Fuji yang menjawab.

Zikri terpaku menatap wajah gua. Dia dapat melihat kecemasan di dalam diri gua.

"Rom, saran gua mending sementara waktu ini lo menghilang aja dulu,"

"Menghilang?" Ucap gua pelan. Seperti seolah bertanya balik ke anak itu.

"Iya. Bisa gawat kalau lo terus di sini, taruhannya putus sekolah atau penjara.."

Gua bungkam dengan penuh kecemasan di hati.

Gua tidak takut di keluarkan dari sekolah atau masuk penjara, yang gua pikirkan hanya nasib orang yang gua celakakan.

Away mati atau hidup? Away mati atau hidup?

Akhirnya kami semua pulang ke rumah masing-masing.

Dan mencoba mengubur dalam-dalam mimpi buruk yang kami alami barusan...

Gua turun di pertigaan warung silah dengan pakaian basah kuyub yang penuh bekas darah musuh. Jam menunjukan pukul tujuh malam, karena masih hujan gerimis kondisi pertigaan jadi sepi.

Tidak ada yang nongkrong satu pun di sana.

Gua duduk di bangku kayu panjang dengan pikiran kacau.

Beni keluar dari kiosnya dan melihat gua dengan baju basah kuyub dan terciprat bercak darah. Tapi anak itu hanya diam tanpa berkomentar.

Ada sedikit warna keterkejutan di wajahnya.

"Di dalem aja, Tok. Gak enak di liat orang," katanya yang segerah menggiring gua masuk ke kiosnya.

Beberapa kali dia bertanya ada apa dengan kondisi gua, tapi gua tidak menjawab, gua hanya terdiam dengan sejuta dilema yang sedang menyerang.

Beni menyeduhkan kopi hangat agar gua sedikit tenang. Tapi setetespun kopi itu tidak gua sentuh.

Gua benar-benar tidak sadar atas apa yang gua lakukan. Entah kenapa diri gua bisa menjelma menjadi iblis sebejat itu!

Gua melenyapkan nyawa anak orang!

Gua merengut masa depan anak remaja yang umurnya tidak jauh berbeda dengan gua!

Apa yang lu pikirkan Rom?!

Elu jadi manusia bajingan yang tidak punya moral!

Apa lu sadar tindakan lu itu dapat membuat sedih keluarganya?!

Bagaimana kalau dia ternyata anak satu-satunya dari orang tuanya? Tentu lu sadar kalau mereka akan sangat sedih dan akan sangat membenci lo! Memangnya apa yang dia lakukan sama lo? Sampai lo harus balas dengan cara sekeji itu?

Sekeji binatang memperlakukan binatang! Atau lo memang berjiwa binatang? Belum lagi polisi nanti akan datang mencari lo! Lalu lo di tangkap! Sekolah lo putus! Orang tua dan kawan-kawan lo pasti kecewa!!

Lu sadarkan apa yang barusan lo lakukan?! Kenapa lo tidak berfikir dulu sebelum bertindak?!

Begitulah gejolak-gejolak batin yang terus menyalahi diri sendiri.

Gua menekuk kaki dan menyembunyikan wajah di antara ke dua lutut dengan perasaan menyesal bercampur takut yang sangat luar biasa.

Jelas gua takut!

Sebab mungkin saja gua membunuh seseorang yang sedang meraih masa depannya.

"Rom, baju lu ganti dulu. Nanti lu sakit lagi.." pinta Beni sembari menaruh kaos di sebelah gua dan menjulurkan handuknya.

"Gu...gua takut Ben..." ucap gua pelan sekali dengan tubuh yang gemetaran.

Entah Beni dengar atau tidak suara gua ini.

"Orang yang barusan gua bacok itu mati..." gua meracau.

Padahal gua tidak tahu apakah Away mati atau hidup.

Mudah-mudahan anak itu dapat bertahan.

Beni hanya terdiam melihat gua tanpa berkomentar apa-apa.

"Ngerokok dulu Rom...biar agak santai," kata Beni menyodorkan sebatang rokok Dji Sam Soe.

Lagi-lagi gua tidak menyentuh rokok itu.

Beni hanya terpaku memandang gua yang sedang kacau.

Mungkin dia juga bingung harus melakukan apa agar gua menjadi tenang. Beni lantas menyetel lagu Bob Marley dari tape hitam tuanya.

Membuat suasana hati gua semakin memburuk.

Itu jadi malam terakhir gua nongkrong di pertigaan bersama Beni.

Karena keesokan harinya gua menghilang dari kampung tempat gua tertawa...

Dari sekolah tempat gua bermimpi....

dan dari basis tempat gua berbagi....

Gua tidak ubahnya seperti Away dan teman-temannya yang pengecut atau seperti anak-anak lainnya yang mengalami kejadian serupa.

Gua lari dari masalah dan tidak berani mempertanggung jawabkan kesalahan yang gua buat. Tapi memang begitulah diri gua saat itu. Jalan untuk menyelesaikan masalah adalah menghilang....

Gua dan mereka adalah salah satu korban atau pelestari dari yang namanya tradisi warisan leluhur. Yang dari tahun ke tahun pasti mengalami kejadian serupa. Korban nyawa yang terus berjatuhan bagai daun-daun yang beguguran dari pohonnya...

BADJINGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang