Menjaga Kehormatan

31.7K 1.9K 116
                                    

Sepuluh menit kemudian akhirnya kami sampai di Litbang. Jarak kami berhenti tidak beberapa jauh dari halte tempat basis 687 nongkrong. Seluruh basis 616 ada di belakang kami menunggu reaksi gua. Wajah Fransiska dan Ika tambah memucat. Gua tahu mereka cemas akan situasi buruk yang bisa saja terjadi.

"Yang mana orangnya?" Tanya gua ke Ika yang kini tangisnya sudah reda.

Sesaat Ika memandang ke arah halte dengan pandangan benci. Tangan Ika masih merangkul lengan gua dengan erat seakan takut gua pergi.

"Itu orangnya!" Tunjuk Ika dengan wajah marah.

Perawakannya pemuda berambut gondrong dan mempunyai jenggot tanggung di dagunya. Dia sedang merokok sambil bersenda gurau dengan beberapa anak di sana.

Gua kenal anak itu, namanya Haska, anak jurusan mesin. Rumahnya di daerah kebagusan ragunan dan punya sepupu yang tinggalnya satu kampung sama gua.

Mata gua menyalah menatap anak itu.

"Kamu tunggu di sini aja sama, Fransiska," Kata gua pelan.

Ika menggeleng, tangannya semakin erat merangkul lengan gua.

"Gak mau...Gak mau..."

"Udah gak apa-apa..tunggu di sini!" Kata gua berusaha tegas sembari melepaskan tangannya.

Gua menoleh ke Zikri.

"Kalau ada apa-apa lu siap sama kemungkinan terburuknya," Kata gua ke Zikri.

"Eh, elu mau ngapain emangnya?" Wajah Zikri menjadi panik.

"Romiii..."suara Ika terdengar bergetar. "Jangaan...udah kita pulang aja yuk..."

Gua tahu saat ini dia sedang ketakutan. Tapi semua sudah terlambat dada gua terlanjur terbakar ketika melihat wajah si brengsek itu.

Emosi gua sudah meluap-luap.

Gua berjalan setengah berlari ke arah anak itu, sambil melepaskan sabuk berkepala besi dari pinggang. Setelah sabuk terlepas gua lilitkan di telapak tangan dengan kepala besi yang gua genggam erat-erat. Melihat ini Ika dan Fransiska langsung histeris dan terus memanggil-manggil nama gua.

Beberapa anak 687 langsung berdiri ketika melihat gua datang.

Terutama Robert dan Poloy. Mereka menyapa dengan ramah tanpa tahu gua akan memulai keributan di basisnya.

Tidak gua gubris sama sekali sapaan mereka. Pandangan gua tetap pada si brengsek Haska yang sedang nongkrong di pinggir halte.

"Heh, monyet!" Panggil gua dengan nada tinggi.

Anak itu langsung menoleh dengan muka penuh tanya.

"Kenapa lu, Rom?"

Gua masih menyembunyikan sabuk besi di balik badan.

"Bangun lu anjing!"

Gak terima gua hina, anak itu langsung bangun.

"Kenapa lu manggil gua kaya gitu?!" Katanya sembari mendorong tubuh gua.

"KARENA LU MEMANG ANJING!!"

Buaaaaghhh!!!

Haska jatuh terlentang ketika gua pukulkan sabuk kepala besi ke keningnya.

Darah segar mulai mengucur dari sana.

Anak-anak 687 langsung heboh dan mengepung gua. Gak puas dengan satu pukulan, gua tambah dengan dua pukulan ke kening dan pipinya. Kini Haskah benar-benar terkapar dengan benjol dan darah di wajahnya yang terus mengalir.

BADJINGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang