Memenuhi Tantangan

32.4K 1.8K 107
                                    

Bus yang berisi Basis kami berjalan ngebut melewati empang tiga, pertigaan makam pahlawan kalibata, duren tiga, potlot sampai ke perdatam. Kecemasan tampak di wajah anak-anak yang bergelantungan di pintu atau di dalam bus. Bisa di bilang daerah yang kami lalui adalah daerah paling rawan. Jalurnya anak 806 ZOM.

Ketika sampai di Pancoran Erik Banjir berteriak dari pintu belakang kearah gua yang sedang bergelantungan di pintu depan.

"Rom, kita lanjut ke Tebet atau turun di sini buat mantau situasi dulu?"

Gua melihat ke depan dan ke kiri jalan, keadaan jalur masih terlihat aman tanpa adanya musuh, hanya ada satu polisi di perempatan itu menatap kami dengan waspada.

"Lanjut ke tebet aja, Rik!" Seru gua memutuskan. "Mungkin anak-anak 806 udah pada nunggu di sana!"

"Yakin lu gak mau mastiin dulu? Kalo bentrok sama Boedoet kita cuma satu basis loh!" Erik memperingatkan.

"Udah lanjut aja!" Pinta gua ngotot.

Karena kalau turun di sini bisa memancing polisi keluar. Dan rencana kita bisa berantakan kalau sudah begitu.

Perjalanan kami lanjutkan sampai ke tebet dengan perasaan ketar-ketir dan was-was.

"Awas! Mata jangan meleng!" Teriak gua ke anak-anak ketika kita sudah hampir sampai di salah satu halte depan Balai Sudirman, Jalan Sahardjo, Tebet, Jakarta Selatan. Di sana adalah tempat kami berjanjian dengan Petir dari Boedoet Pusat.

Namun ketika sampai di sana lokasi kosong melompong. Tidak ada seorang pun pelajar musuh atau anak basis 806 di sana.

"Mana nih anak Boedoet nya? Gak keliatan sama sekali?" Tanya Zikri sambil melihat ke sekitarnya dengan mata awas.

"Mungkin belum dateng kali Zik," jawab Dika.

"Gak mungkin...informasi dari anak-anak siang mereka udah mantekin kita di sini," kata Agus Tengik

Semuanya terdiam dengan wajah tegang.

"Yaudah kita turun di sini aja buat nunggu mereka," kata gua memutuskan.

Dika lantas menggedor atap angkot, sedangkan Zikri ikut mengetok kaca pintu angkot dengan uang koin, persis seperti kenek bus itu.

Bus yang kami naiki pun berhenti 30 meter sebelum halte. Gerombolan anak sekolah kami langsung membanjiri jalan sepanjang trotoar tersebut. Bahkan kebanyakan berjalan di tengah menutupi jalan raya pada siang ini.

"Woi! Kalem! Jangan di tengah jalan!" seru gua pada anak-anak yang masih berhamburan di tengah jalan raya. Akhirnya mereka merapat berjalan di pinggir dan nongkrong di sepanjang trotoar.

Gua, Erik, Zikri, Fuji, Dika, Agus Tengik, Ruby, Gondel dan beberapa gerombolan anak basis 616 memilih nongkrong di halte. Agus Tengik menyembunyikan tas gitar yang berisi BR itu di belakang bangku halte.

Sudah lima belas menit kami nongkrong di sini, menunggu musuh dan basis 806 yang tak ada kabar. Kami khawatir kalau-kalau basis 806 sudah bentrok sama musuh di jalur ini sebelum kami datang.

Mata kami awas mengamati setiap bus yang lewat dari arah berlawanan maupun satu arah. Karena bukan hanya Boedoet saja yang bisa lewat di sini, tapi STM lain yang sedang mencari lawan juga bisa jadi musuh tak terduga untuk kami.

"Ada yang aneh.." gumam Fuji matanya masih cemas menatap jalanan.

"Kenapa, Ji?" Tanya Dika.

BADJINGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang