Mengambang

39K 1.9K 119
                                    

Gua duduk di sofa panjang bersebelahan dengan Fuji. Ruangan dingin ber AC ini terasa panas karena di depan kami sudah ada Pak kepsek yang memasang tampang galak sambil bertolak pinggang. Di sebelahnya ada Bu Rani yang juga menatap kami dengan pandangan curiga.

"Sekarang kalian mengaku sajalah, kalian juga terlibat dalam tawuran itu kan?"

Gua menatap pak kepsek tanpa bergeming.

Sedangkan Fuji terus menundukan kepalanya.

"Sudah saya bilang dari tadi kalau kami tidak ikut tawuran itu," jawab gua datar.

Gua dan Fuji di panggil setelah tiga hari peristiwa tersebut berlalu. Saat itu Jimmy dan Kelink sudah di tangkap polisi.

"Pasalnya sewaktu kejadian kalian membolos, sudah pasti kalian ikut tawuran itu kan? Ayo mengaku sajalah.."

"Koreksi pak. Kami tidak membolos. Kami tidak boleh masuk karena gerbang sudah di tutup oleh pak Yusuf. Bukankah itu sudah menjadi bagian daei peraturan sekolah ini, kalau terlambat tidak boleh masuk dan sekarang bagaimana bapak bisa menuduh kami membolos lalu melakukan tawuran?"

Big Boss menyipitkan matanya.

Tentu dia tidak percaya begitu saja dengan jawaban gua.

"Lalu kalian kemana sewaktu kejadian itu?"

"Kami seharian penuh nongkrong di stasiun kereta. Bapak bisa mengkonfirmasinya langsung kepada penjaga loket di sana.." Jawab gua.

"Bah! Banyak kali cakap kau itu!" Kata Big Boss naik darah.

Pak Kepsek langsung kembali ke kursi singgahsana nya.

"Romi, Fuji," panggil Bu Rani tegas.

Seperti biasa Bu Rani memasang wajah galaknya ketika sedang di depan siswa bermasalah dan kali ini kami pun tidak lolos dari tatapan mematikan dari ibu guru killer itu. Bu Rani lalu duduk di depan kami sambil memasang tampang dingin yang tentunya sangat tidak bersahabat. Sebenarnya gua sudah sangat lelah sekali jika harus berurusan dengan The Killer Rani.

"Yang perlu kalian ketahui, korban yang di bunuh oleh pelajar sekolahan kita masih berumur sama dengan kalian, kondisinya mengenaskan dan keluarganya sangat terpukul oleh kematian anak mereka. Coba pikirkan bagaimana perasaan orang tua kalian jika itu terjadi kepada diri kalian? Pasti hati mereka hancur kan??"

Kami diam tanpa menjawab.

Gua tahu maksud Bu Rani mengatakan hal tersebut agar membuat kami sadar akan bahaya tawuran.

"Dan bagaimana jika itu terjadi pada teman kalian? Terlebih lagi keluarga kalian sendiri. Apa perasaan kalian tidak hancur?" Lanjut Bu Rani berceramah, "Saya harap, semua kekacauan ini bisa selesai sampai di sini saja," Wajah Bu Rani kini berganti menjadi Iba. Suaranya melembut, seperti ada nada bersalah di sana. Mungkin dia juga merasa bertanggung jawab, karena sebagai guru BP dia gagal mendisiplinkan anak muridnya.

Kami masih bungkam tanpa sepatah kata pun keluar.

Kami bukan nya tidak berfikir sampai ke sana, bahkan sampai saat ini wajah anak yang terbunuh itu lekat di pikiran.

Bagaimana darah kental berbau amis itu mengalir di aspal panas, bagaimana kepala yang robek menganga itu mengeluarkan banyak darah, bagaimana tubuh kurus tertancap oleh golok mengejang-ngejang.

Semuanya masih sangat jelas terekam di ingatan gua. Dan itu salah satu penyiksaan abadi yang tidak mereka rasakan.

Pak kepsek masih duduk di kursi singgahsananya dengan tampang putus asa. Lalu tak lama beliau tersenyum. Seperti ada suatu rencana di kepala beliau.

BADJINGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang