3. Membisikkan Rahasia

11.8K 2.3K 938
                                    

Alam masih memegangi tangan Cana ketika mereka sampai di lantai dua. Lorong rumah ini begitu panjang dan terdapat banyak pintu kamar di sisi kiri-kanan. Gelap. Di ujung sana nampak seperti ruang hampa yang membawa mereka pada ketiadaan. Nata menerangi lorong di sisi kiri tangga, sementara Alam mengarahkan senternya ke lorong di sisi kanan tangga.

"Abang ke arah sana ya, ikut ngecek siapa tahu ada petunjuk di sana. Ini kamarnya banyak, jadi sepertinya kita harus berpencar," kata Nata.

"Abang enggak apa-apa? Kita sama-sama aja, Bang," balas Cana khawatir.

"Akan menghabiskan waktu, Cana. Enggak perlu khawatirin Abang." Nata menoleh ke arah Alam sambil tersenyum. "Aku titip Cana, ya. Jagain bener-bener."

Alam mengangguk, "Iya, Bang. Kalau ada apa-apa atau sesuatu yang mencurigakan, langsung hubungin pakai walkie talkie aja."

"Oke."

"Hati-hati, Bang."

"Kalian juga."

Nata sudah melangkah memasuki kegelapan, sementara Cana masih berdiri diam menatap lorong yang akan menjadi tujuannya berburu petunjuk bersama Alam. Alam ikut berhenti. "Kenapa?" tanyanya.

"Rasanya... enggak asing." Cana mempererat genggaman tangannya pada Alam, dia takut dan gugup. Rasanya seperti hendak bertemu musuh lama atau mungkin bisa diibaratkan seperti anak yang bertumbuh dewasa, sudah lama tak bermimpi buruk dan ternyata di suatu malam, dia kembali menemui sesosok monster di dalam lemari yang selalu muncul di dalam mimpi buruknya semasa kecil.

"Jangan takut, gue di sini." Alam tersenyum, wajahnya terbias lampu senter Cana dan entah kenapa, senyuman itu mampu membuat Cana sedikit tenang.

Cana mulai melangkah menyusuri lorong yang gelap dan kotor dengan dinding-dinding kayu penuh debu dan berlumut, serta terlihat cat-cat putih dinding yang luntur terkena air hujan menimbulkan bekas-bekas coklat kehitaman seperti lumpur yang ditumpahkan ke baju putih. Langit-langit di atas Cana dan Alam banyak yang terlepas dan ada yang masih menggantung hendak tercerabut seperti lidah ular raksasa yang menjulur. Di atas langit-langit dipenuhi kegelapan dan Cana merasa seperti ada banyak sekali mata yang diam-diam memperhatikannya di atas sana, berlindung di balik kegelapan. Bukan karena takut terlihat, justru seperti tengah menunggu Cana lengah, agar mereka bisa menampilkan wajah mereka dan turun ke bawah menangkap Cana.

Lantai-lantai tempar ini dipenuhi potongan plafon yang jatuh dan debu-debu seperti pasir. Suara jejak kaki Cana dan Alam di atas lantai kayu yang rasanya begitu rapuh ini terdengar menggema di lorong. Cana hampir berjinjit dan berjalan pelan, sebab dia takut jika lantai kayu ini bisa membuatnya jatuh ke dalam jurang kekelaman tak berujung. Cana merasa khayalannya semakin liar jika ia terlalu lama berada di tempat ini.

"Seingat gue, di ujung lorong ada pintu berwarna merah muda dan di sanalah Tante Dana nyimpen catatannya. Tapi, gue cuma nunggu di luar pintu, enggak sampai masuk ke dalam."

Suara Alam membuyarkan khayalannya. Cana cukup merasa tenang, sepertinya dia harus banyak mengobrol dengan Alam agar berhenti mengkhayalkan hal yang tidak-tidak.

"Tante Dana itu... ibu... gue, ya?" tanya Cana ragu.

"Iya, benar."

"Gue gak inget wajah ibu gue sendiri."

"Nanti akan gue kasih lihat setelah kita pulang dari sini."

Cana mengangguk. Ia meneruskan perjalanan. Krreeekk... kreekkk... Cana mendengar suara jejak kaki lain di belakangnya yang menginjak lantai kayu hingga berbunyi. Cana menoleh ke belakang, sambil menyenteri lorong di belakangnya, tapi tak ada apa pun.

Alexandra's MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang