2. Bulan Penuh Menyinari Lautan

11.1K 2.3K 1.1K
                                    

Alam menatap lurus langit sore di depannya. Cahaya keemasan membuat mata birunya berkilau seperti lautan yang ditumpahi sinar matahari menjelang petang yang hendak menjumpai garis batasan antara cakrawala dan laut, belum benar-benar ingin mengucap selamat tinggal pada bumi. Alam suka duduk di nok sekolah. Memandangi langit dan burung-burung beterbangan ditemani siulan angin yang menenangkan. Duduk di sini membantu mendinginkan kepalanya yang mudah mendidih sejak kepergian ayahnya.

Dia sadar bahwa dia sering kesulitan mengontrol emosinya, tidak seperti dulu ketika yang dia harus lakukan hanyalah tersenyum. Sekarang, menampilkan senyum palsu terasa begitu sulit. Mungkin, dia sudah lelah bertopeng, mengungkung segala emosi alaminya di balik jeruji senyum. Dia sering berbisik pada dirinya sendiri bahwa marah itu manusiawi dan semakin sering menahan segala energi negatif di dalam diri, maka suatu saat dirinya sendiri tak akan bisa menahan lagi ledakan energi negatif itu. Sekali meledak, maka semuanya hancur. Itu lebih mengerikan.

Alam menghela napas. Dia lelah, tapi tak boleh menyerah. Segala sesuatu tentang keluarganya dan Alexa serta saudari-saudari Alexa akan selalu berhasil menyentuh sisi tergelap dirinya, membongkar seluruh tameng keceriaan yang sudah lama dia buat untuk menutupi dirinya yang sebenarnya rapuh dan sedih.

Alam mengeluarkan ponselnya dari saku celana, kemudian dia membuka galeri. Ada satu foto di sana, foto seorang gadis dari samping yang sedang membaca buku catatan di bawah sebuah pohon di pinggir lapangan. Alam tersenyum tulus. Itu foto Cana. "Gue gak tahu kenapa gue bisa marah sama lo, lalu merasa sebegitu bersalahnya hanya dengan memandangi foto lo." Alam membuang napas.

"Lam, gue... mau minta maaf."

Alam terkejut, hampir saja ia menjatuhkan ponselnya. "Astaga kaget gue kira siapa." Dia membuang napas lega. "Sini duduk, kita ngobrol lagi." Alam menepuk-nepuk lantai di sampingnya.

Cana menghela napas dan duduk di samping Alam. "Lo udah gak marah lagi?"

"Marah lama-lama sama lo itu susah tahu."

"Maaf. Gue tahu lo kenal banget sama Alexa jadinya lo yakin kalau dia bukan tipe orang yang begitu. Lo benar. Cara pikir gue pendek. Bisa jadi, yang gue lihat itu bukan Alexa yang melakukannya." Cana menurunkan kaus kaki sekolahnya. "Bekas tusukannya gak kelihatan jelas, mungkin menghilang karena udah sangat lama," katanya memandangi kakinya. "Tapi, Lam, gue... tadi masih syok aja. Gue gak percaya... gue kesulitan menerima kalau gue memang Sarisha--"

"Gue gak peduli lo itu Sarisha atau siapa pun," Alam menoleh ke samping, menatap Cana tepat pada matanya yang kecoklatan. "Bagi gue, lo adalah lo yang gue kenal sekarang dan gue tetap akan melindungi lo. Gue minta maaf sempat marah dan ngomong kasar sama lo. Segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarga gue dan Alexa, Ana, Sarisha, selalu berhasil membuat gue lupa diri seakan masalah itulah satu-satunya hal yang bisa meruntuhkan kontrol gue atas diri gue sendiri." Alam tersenyum. "Tapi, gue paham sekarang, lo cuma masih enggak menerimanya. Gak usah dipikirin. Lo hidup di masa sekarang, bukan di masa lalu.

"Dan Can, gue mau jujur, lo itu satu-satunya manusia asing selain keluarga gue yang pernah bahkan sering melihat gue ketika sedang menjadi manusia normal, manusia yang sesungguhnya. Lo paham maksud gue? Maaf kalau gue marah sama lo. Itu terjadi begitu aja."

Cana mengangguk. "Marah, sedih, sebal, itu emosi manusia yang normal. Lo lebih suka menutupi itu dari semua orang dan masang topeng ceria mulu." Cana tersenyum lebar. "Lo gak perlu minta maaf, apa yang lo katakan tadi itu benar. Dan satu lagi, kalau sama gue, lo gak perlu pakai topeng apa pun. Kelamaan pakai topeng bikin capek, tahu."

Alam mengacak lembut rambut Cana. "Ini lah salah satu hal yang bikin gue suka sama lo. Lo tuh sangat mengerti gue. Heran, sih. Kayak semua hal yang udah gue tutupin aja, lo bisa tahu ckckck." Alam tersenyum lebar dan tulus setelah berdecak. "Iya, gue lepas topeng gue kalau lagi sama lo."

Alexandra's MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang