13. Terang atau Gelap?

26.9K 3.2K 507
                                    

Alam mengangguk dan segera merogoh ponsel dari saku celananya. "Gue telepon Lisa dulu. Kita balik bentar lagi, urusan kita udah selesai di sini."

Cana menggeleng. "Belum. Ada pesan yang harus gue sampaikan ke Naya. Pesan dari Ratih."

"Gue nyusul masuk kalau udah telepon Lisa. Jangan lama, ya, kita harus cepet balik ke vila."

Cana mengangguk.

~~~

"Naya," Cana menghampiri Inaya, membungkukkan tubuhnya agar sejajar dengan Inaya yang bertubuh sangat mungil. Cana mendekatkan bibirnya ke telinga Inaya. "Kak Ratih bilang dia ada naruh sesuatu di bawah kasur kamu. Dia bilang, Selamat Ulang Tahun. Maaf, dia gak bisa ngasih langsung."

Wajah Inaya yang semula dingin berubah. Ia tiba-tiba memeluk Cana dan menangis. Bahu Cana dipenuhi air mata. Ibu Lina juga menangis diam-diam, masih menggenggam jepit rambut milik anak cantiknya. Rumah ini semakin sendu dan dingin.

"Ma-makasih, Kak."

"Ratih sayang banget sama kamu dan Ibu, juga Ayah."

"Bilang Kak Ratih, dia harus tenang. Nanti Naya yang jaga Ibu sama Ayah." Inaya masih melingkarkan tangannya di leher Cana. Cana balas memeluknya.

"Nanti Kakak sampaikan."

Inaya melepaskan pelukan itu pelan-pelan sambil menarik cairan di hidungnya beberapa kali agar tak keluar begitu saja. "Tolong temukan yang bunuh Kak Ratih. Tolong."

Cana mengangguk.

Tak lama kemudian, Alam masuk dan berkata, "Kami harus pulang sekarang. Terima kasih banyak sudah menerima kami." Ia menatap Ibu Lina sambil tersenyum lembut.

"Can, ayo pulang. Kita sudah ditunggu."

Cana tersenyum untuk terakhir kalinya kepada Ibu Lina dan Inaya, lalu pamit pulang bersama Alam.

~~~

"Gak ada sesuatu yang aneh dari Dennis ini. Dia cuma remaja biasa." Lisa melipat kedua tangannya. Matanya masih terarah pada laptop di depannya.

"Lo harus cari lebih dalam lagi," kata Alam.

"Gak ada. Sumpah lo lihat sendiri. Ayahnya cuma pegawai PNS biasa dan ibunya cuma IRT. Gak ada yang spesial. Dia siswa di SMA Bakti Nugraha, sekolahnya Ratih. Ikut eskul futsal. Mungkin populer di sekolahnya, ya dia ganteng dan anak futsal, tapi gak terindikasi punya kekayaan tujuh turunan yang bikin dia bisa membangun markas--"

"Kita enggak pernah tahu, Lis," tambah Sam. "Ingat, Mr. Nut bisa jadi siapa aja. Orang yang terlihat biasa sekali pun. Kayak yang kalian pernah bilang, bisa jadi dia punya brankas rahasia buat nyimpenin duitnya. Bisa jadi dia punya bisnis apa gitu di dark web yang bikin dia kaya. Dia jenius, bisa jadi jual senjata ilegal. Iya, gak?"

"Butuh modal, Sam," Lisa memutar bola matanya.

"Dari mana aja bisa, kita gak pernah tahu," Alam setuju dengan Sam. "Kita harus menemui dia besok. Setelah itu ke Conewood Theater."

"Mending malem ini aja ke Conewood Theater. Besok sidang bokap gue," kata Lisa.

Sam berdecak, "Nah kan, mulai deh gilanya."

"Gue setuju," tambah Cana, "Kita gak bisa nunda-nunda lagi."

"Dan jujur, sebenernya kalau dipikir-pikir, lebih baik malam ini. Karena, Bang Nata selalu mengawasi gerak-gerik kita dari jauh. Kalau misi yang satu ini kita jalankan malam, pasti dia agak susah mengawasi kita," jelas Alam.

"Kita juga gak mungkin bolos terus. Kemungkinan jadwal misi kita berubah malam, kecuali buat ketemu sama orang-orang yang mau kita wawancarai bisa setelah pulang sekolah," tambah Lisa.

Alexandra's MemoriesTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon