8. Monster dan Bom Waktu

23.1K 3.5K 488
                                    

"Maksud kamu apa, Lam?"

Alam seperti baru tersadar bahwa kalimat itu tidak seharusnya ia keluarkan. "Hah? Ah... bukan apa-apa, Om."

"Jangan--"

Bukk!

Alam dan Yovi menoleh ke sumber suara, terlihat seorang pria muda yang terjatuh karena tongkatnya tersandung sesuatu. Ia membawa bungkusan plastik berisi makanan yang baru saja ia beli di rumah makan itu. Kaki kirinya menghilang hingga lutut.

Alam dan Yovi segera menghampirinya, "Mas gak apa-apa, Mas?" tanya Alam khawatir. Ia dan Yovi membantu pria muda itu berdiri.

"Ah, enggak apa-apa. Terima kasih." Ia tersenyum canggung malu. Wajah pria muda itu tampan, meskipun terlihat kikuk. Alam sepertinya tidak asing.

"Satya? Kamu gak papa?"

Alam menoleh. "Loh? Bang Bagas?"

"Eh, Alam." Bagas tersenyum manis.

"Bang Bagas kenal Mas ini ya?" tanya Alam.

"Iya tetangga Abang."

Oh pantes pernah liat. Ini cucu Nenek yang kemarin nyiram bunga, tetangga Bu Nita.

Bagas kemudian menoleh ke arah Satya. "Jatuh ya? Ini makanan buat Nenek?" tanya Bagas. "Bentar aku beliin lagi."

"Gak usah, Mas. Saya beli sendiri."

"Kamu jangan gak enakan gitu. Nenek udah baik sama Ibu." Bagas bergerak menjauhi mereka dan menuju ke meja pemesanan makanan.

"Alam, Om pergi dulu ya, ada panggilan bos. Nanti kita bicara lagi," kata Yovi setelah mengecek ponselnya.

"Iya, terima kasih banyak, Om." Alam tersenyum riang. Ia masih belum meninggalkan tempat itu dan masih berdiri di samping Satya. Entah kenapa, ia jadi tergerak mengorek-ngorek soal Bagas pada pria muda ini.

"Bang Satya ya?" tanya Alam memulai pembicaraan.

"I-iya." Pria ini masih kikuk, mungkin tipe orang yang kesulitan berkenalan dengan orang lain dan tidak percaya diri. Ia sedari tadi terlihat canggung, sebelah tangannya berkali-kali mengusap tengkuknya, sebelah tangan lagi memegangi tongkat.

"Akrab gak sama Bang Bagas?"

"Lu-lumayan. Saya sering membantu mereka memotong rumput di rumah mereka. Saya mendapat uang dari sana."

Alam mengangguk paham. "Baik ya, Bang orangnya."

"Ehm..." Ada jeda di sana, ia tak langsung menjawab. "I-iya, baik, Mas."

"Bang jangan gugup gitu, santai aja." Alam tersenyum lebar.

"Ma-maaf... saya memang begini orangnya. Sulit... bicara kalau gugup."

"Kenapa gugup, Mas? Ada yang Mas takutkan?"

"Ehm... i-itu..."

"Satya, ini makanan untuk Nenek, ya." Bagas tersenyum. "Kalian sedang membicarakan apa? Seru sekali sepertinya."

Satya menundukkan kepalanya, terlihat takut menatap langsung ke arah Bagas. Ia bahkan terlihat ragu mengambil bungkusan makanan yang diberikan Bagas. "Satya, ini ambil."

Alam memperhatikan. Nada bicara Bagas, terdengar tenang namun intimidatif. Ada nada perintah yang entah kenapa terasa menghipnotis.

Satya mengambil bungkusan itu. "Makasih, Mas Bagas. Saya pulang duluan."

"Gak mau bareng saya? Saya bawa mobil, kok."

Satya sedikit terkejut, "Hah? Eng... enggak usah, Mas, ngerepotin. Sa-saya bisa jalan sendiri."

Alexandra's MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang