13. Kumbang Selanjutnya

25.2K 3.9K 514
                                    

Cana berharap ini mimpi. Ketika membuka mata, ia sudah berada di rumah Alam. Nyatanya, ia masih berada di sini. Ruangan dingin dengan penerangan minim yang memuakkan. Aroma amis darah menguar. Entah darimana sumbernya. Ia tak bisa melihat lebih jelas. Atau mungkin dari tubuhnya sendiri?

Cana terbatuk, tangannya membekap mulut, cairan kental tumpah di atas telapak tangannya, warnanya... merah gelap? Darah? Entahlah, peduli apa? Perutnya lapar, ia kehausan, seluruh tubuhnya nyeri dan kedinginan. Cana sempat berharap lebih baik ia mati saja sekarang. Tapi, ia tertawa kecil ketika tak sengaja ia mengangkat kepalanya yang menunduk dan menemukan... Ana sedang duduk di sana, 2 meter di depannya. Tangannya tak ada, rambutnya menutupi seluruh wajahnya. Cana memeluk lututnya, kemudian tertawa lirih. "Sepertinya... aku gagal?" Katanya berbicara pada gadis kecil itu, tertawa sekilas.

Hening. Tak ada jawaban.

"Aku lebih baik mati sendiri daripada harus melibatkan teman-temanku atau abangku. Aku tidak menyesal. Hanya saja... rasanya misiku gagal karena terlalu bodoh dan terburu-buru." Setetes air mata jatuh menuruni pipi Cana yang tengah tersenyum lirih. "Tapi..."

Pintu terbuka. Lelaki berpakaian serba hitam dan bertopong putih melangkah lebar menuju Cana. Cana hanya tersenyum miring melihat kedatangan lelaki bermata biru itu.

Ana telah menghilang, justru saat ini posisinya tergantikan oleh lelaki bertopeng putih itu. Lelaki itu berjongkok tepat di depan Cana. Matanya menyipit seperti biasanya. "Apa kamu haus?" Tanyanya membelai rambut Cana. Cana membuang wajah, tak menjawab.

"Aku bisa memberimu minum, asalkan kamu berhenti nakal dan menurut padaku."

Cana masih memalingkan wajahnya, tak sudi menatap lelaki itu.

"Aku akan membawa teman baru untukmu sebentar lagi," katanya. "Supaya kamu tidak kesepian."

"Aku tidak akan minum. Supaya aku mati lebih cepat," kata Cana tersenyum miring.

Mr. Nut tertawa, "silakan saja. Aku akan membunuh semua orang yang kamu sayang. Siapa? Abangmu? Ayahmu? Itu mudah. Kamu akan jadi penyebab mereka mati, kamu akan jadi pembunuh. Seperti yang kamu lakukan pada ibumu dulu. Pembunuh." Mr. Nut menekan kata pembunuh sambil tertawa memuakkan.

Cana melebarkan mata, refleks menoleh ke arah Mr. Nut. "A-apa maksudmu?"

Dia hanya tertawa, kemudian mendekatkan wajahnya pada Cana. "Semua kumbang yang jadi koleksiku adalah kumbang pembunuh. Kumbang-kumbang istimewa. Pemangsa," bisiknya sambil tertawa kecil.

Cana mendorong Mr. Nut sedikit menjauh dengan sisa-sisa tenaganya. "Sinting."

"Kumbang pemangsa punya insting memakan mangsanya untuk bertahan hidup. Kita lihat seberapa kuatnya kamu tidak makan dan minum, sayang." Dia tertawa lagi, kemudian perlahan melangkah ke luar meninggalkan Cana sendirian.

Cana kembali ditemani keheningan. Ia memeluk lututnya sambil berbisik berulang-ulang, "aku bukan pembunuh... aku bukan pembunuh... aku bukan pembunuh..."

Ia menutup matanya putus asa, menangis, ketakutan. Boneka manusia itu muncul lagi di benaknya. Kenapa? A-apa maksudnya? I-ibuku... meninggal karena sakit. I-itu bukan Ibuku... bukan!

Krek, krek, krek.

Cana mengangkat kepalanya kembali. Ada seorang anak kecil di sudut ruangan. Ia membelakangi Cana. Ia tengah berjongkok, mengorek-ngorek dinding dengan kukunya.

Dia sepertinya bukan Ana. Dia mengenakan gaun hitam. Cana baru pertama kali bertemu dengannya. Siapa... dia?

Gadis kecil itu berdiri perlahan. Hening sekali bahkan Cana seperti tak mendengar hembusan nafas atau debaran jantungnya sendiri. Ia menggenggam pisau. Cana bahkan tak sadar sejak kapan gadis itu memegangi pisau? Ia melangkah mundur pelan sekali, seperti menyeret kakinya yang berat.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now