6. Masuk ke dalam Mimpi

39.2K 4.7K 657
                                    

Nata memarkir mobilnya di depan gerbang sekolah. Mata Cana tampak berkantung, terlihat ia tak tidur semalaman karena takut. Nata semakin khawatir padanya dan jadi tidur tak nyenyak, meskipun sebenarnya ia sempat tidur selama dua jam di sofa rumah sakit.

Malam tadi, mereka memang memilih menginap di rumah sakit dan sebenarnya Cana tahu bahwa itu bukan keputusan yang tepat. Untungnya, Alam meneleponnya semalaman, sehingga Cana tak begitu peduli dengan gangguan-gangguan lain dari Ana. Ya, Ana adalah yang paling sering menemui Cana. Cana tak bisa melihat hantu lain selain Ana dan gadis berbaju merah maroon itu. Untungnya mereka tak begitu menampakkan diri seperti saat di rumah. Entah kenapa. Ia bukannya memiliki indra ke enam, tapi lebih tepatnya roh-roh itulah yang memperlihatkan diri mereka sendiri kepada Cana.

"Cana, kamu bisa cerita ke Abang. Apa pun itu, Abang bisa bantu," kata Nata sebelum Cana beranjak pergi keluar dari mobil.

"Abang gak akan masukin aku ke rumah sakit jiwa, kan?" Cana terkekeh, tapi matanya tetap terlihat lelah. "Aku gak gila, jadi aku gak perlu konsultasi sama Abang."

"Bukan begitu. Pertama, konsultasi sama psikolog itu gak harus gila. Kedua, kita gak perlu melakukan sesi formal, kamu bisa cerita apa pun dan kapan pun, bahkan di telepon. Abang tahu, Abang masih gak punya banyak waktu untuk kamu. Tapi, Abang selalu berusaha menyisihkan waktu untuk kamu."

Masalahnya, Abang gak percaya. Abang mengedepankan logika. Abang cuma berpikir kalau aku punya depresi seperti orang kebanyakan dan semuanya gak akan jadi baik-baik aja setelah aku cerita sama Abang, pikir Cana dalam hati.

"Can?"

"Iya, Bang. Aku ceritanya kapan-kapan aja. Aku masuk dulu ya, Bang." Cana tersenyum, baru tersadar dari lamunannya. Cana hendak keluar dari mobil, namun Nata menahannya. Nata kemudian mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang.

"Adik cantik Abang harus semangat, ya." Cana hanya mengangguk, berusaha tersenyum.

Nata menatap kepergian adik kesayangannya dengan tatapan nanar. Antara sedih dan menyesal. Sedih karena mengetahui fakta bahwa ia seorang psikolog dan justru, adiknya sendiri yang sedang depresi, tak bisa ia urus dengan baik dan menyesal karena ia tak punya banyak waktu untuk adiknya. Ia tahu, adiknya punya masalah. Ia bisa membaca semuanya. Namun, ia juga tahu, bahwa adiknya tak bisa mengatakan apa pun dan Nata terpaksa tak bisa membantu.

Satu-satunya alasan adalah kamu yang menginginkan ini semua, Cana. Abang cuma bisa melindungi kamu. Abang harus melakukan ini.

~~~

"Lo gak tidur, Can?" tanya Lisa setelah Cana duduk dengan sangat tidak bersemangat.

"Ya begitulah."

"Kenapa?"

"Insomnia parah." Cana menghela napas.

"Kenapa gak minum obat tidur atau konsultasi kek ke psikolog."

"Abang gue psikolog, tapi gue gak minat sama sekali minum obat atau cerita ke dia. Karena, gue sendiri yang memang gak mau tidur."

"Lo gila? Manusia butuh tidur."

"Ya begitulah." Kalau gue tidur, gue makin depresi. "BTW, Alam mana?" tanya Cana ketika menengok ke belakang dan hanya terlihat ransel navy milik Alam yang terbaring manis di atas meja.

"Sarapan sama si Sam. Kok lo nanyain Alam? Cie... mulai kepincut ya? Baru juga dua hari." Lisa tersenyum mengejek.

"Bukan gitu. Ada yang lupa gue omongin sama dia. Penting." Cana menopang kepalanya dengan tangan.

"Mr. Nut ya?"

"Hah? Bu-bukan." Cana menggeleng cepat.

"Selow aja kali, Can. Jujur gue juga penasaran sama Mr. Nut. Lo diam-diam aja ya, gue curi data polisi tentang Mr. Nut. Ssstttt..." Lisa berbisik sambil mengerling.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now