7. Maia

22.4K 3.5K 645
                                    

"Ini apa, Bu?" Seorang anak laki-laki sibuk memperhatikan tonjolan di atas kulit tangan kiri Ibunya, mendekati pergelangan tangan. Tonjolan itu tidak seperti tonjolan pada umumnya, ia berbentuk sempurna seperti memang sengaja dipahat di sana.

"Ini sayatan. Semua saudari Ibu punya. Termasuk Tante Dana. Artinya, tujuh. Ini simbol angka tujuh atau sapta dalam Sanskerta."

"Keren. Aku ingin punya juga."

"Tidak boleh, Sayang. Sangat berbahaya."

"Kenapa Ibu membuatnya?"

"Karena Ibu bersumpah akan menjadi saudari mereka sampai mati."

"Ibu, Alam cuma tahu Tante Dana. Bibi yang lain ke mana?"

Ibunya tampak ragu, tapi ia berusaha menjelaskan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami anak-anak. "Mereka pergi ke surga. Tinggal Ibu dan Tante Dana saja."

"Apa Ibu juga akan menyusul mereka?"

"Ya. Nanti. Bukan sekarang." Ibunya mengusap puncak kepala sang pria kecil. "Kalau Ibu pergi, kamu harus janji ya, jagain Ravi."

"Kalau Ravi ikut?"

"Kenapa berpikiran begitu?"

"Misalnya saja."

"Berarti kau harus jaga Alexa, Ana, dan Sarisha."

"Alam belum bertemu dengan mereka."

"Nanti akan ketemu. Belum waktunya saja. Mereka masih di luar kota. Minggu depan mereka akan pindah kembali ke sini. Kamu akan berkenalan dengan mereka. Mereka manis sekali."

Alam tersenyum lebar. "Alam punya teman baru!"

Ibunya menyubit kedua pipi kemerahan milik Alam. "Jaga mereka, ya, Sayang! Gak boleh nakal sama mereka."

"Ai ai, Kapten! Alam gak akan nakal. Apalagi kalau sama perempuan cantik."

"Ih genit!" Ibunya menggelitik Alam dan Alam tertawa riang.

Alam terbangun. Rupanya ia tertidur di ruang makan. Namun, tubuhnya telah diselimuti. Tak ada Cana di depannya. Hanya ada gelas kosong dan alat-alatnya yang berhambur di depan meja. Ia memijit kepalanya yang pening, kemudian melirik jam dinding. Pukul tiga dini hari.

Lampu dapur masih menyala, meskipun lampu di ruang lain di lantai satu semuanya mati. Tiba-tiba Alam mendengar suara sesuatu yang di seret di atas lantai keramik. Suaranya membuat telinga Alam ngilu. Pelan, namun tajam.

"Sam?" panggil Alam. Ia melirik ke arah kegelapan. "Ngapain lo gelap-gelap? Jangan becanda. Malem malem gini lagi." Alam berdiri dari bangkunya. Suara itu berasal dari ruang tengah, tempat Alam biasa berdiskusi dengan yang lainnya. Namun, tiba-tiba suara itu berhenti ketika Alam mendekat ke ruangan gelap itu. Alam mencoba meraba tombol lampu, ketika lampu menyala, tak ada apa-apa di sana. Alam menaikkan sebelah alis, entah kenapa belakang lehernya terasa begitu dingin.

Alam berusaha tak menghiraukan apa yang tadi dia dengar. Ia kembali mematikan lampu, hendak menuju ke lantai dua. Tapi, suara itu muncul lagi, bahkan semakin mendekat. Alam menoleh ke belakang, kali ini ia tidak menyalakan lampu. Ia membiarkan cahaya lampu luar rumah masuk ke dalam ventilasi yang menjadi satu-satunya penerang di ruangan ini, cahaya itupun tak menjangkau seluruh sudut ruangan sebab ruang tengah memang luas. Namun, Alam masih bisa melihat sosok bayangan hitam yang terduduk di atas lantai. Bayangan itu tak lagi bergerak dan suara gesekan sesuatu yang diseret di atas lantai juga tak terdengar.

"Al?" tanya Alam gugup mereka-reka. Tubuhnya seketika lumpuh, tapi kata-kata itu masih bisa keluar dari mulutnya.

Sosok bayangan itu bergeming, diam mematung.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now