Epilogue

24.9K 3.2K 1.9K
                                    

Daun kering memekik ketika tapak sepatu besar berwarna hitam mengilap menginjaknya. Suara senandung Twinkle Twinkle Little Stars meredam suara pekikan daun-daun yang berbaring di atas tanah. Sinar matahari sore yang keemasan menyapu jalan dan dedaunan yang melambai-lambai seakan mengucapkan selamat datang pada si pemilik sepatu. Seorang pria bertopeng putih berhenti di depan sebuah pagar besi yang berkarat dan dililiti tumbuhan menjalar. Diperhatikannya bangunan kayu berlantai dua di depannya. Matanya menyipit dan berbinar-binar, tanda bahwa dirinya tengah tersenyum.

Dia membuka pagar besi yang engselnya berderit nyaring, lalu melangkah memasuki ruangan setelah memutar gagang pintu yang berdebu. Bau apak mengisi ruangan. Hal pertama yang menyambutnya adalah sofa dan meja yang berdebu tampak sedih kesepian. Dia menghirup udara dalam-dalam dengan kepuasan tiada tara, seakan menemukan harta karun yang selama ini dicarinya. Dia melangkah menaiki tangga. Dia masih bersenandung tanpa henti.

Suara tangga kayu lapuk dengan debu setebal beludru mendampingi langkah kakinya. Ketika dia sampai di atas, ada lorong panjang dengan banyak pintu yang menyambut. Dia melangkah ke kamar paling ujung yang pintunya bercat merah muda. Dia berhenti bersenandung. Dirabanya pintu kayu berdebu itu, lalu diputarnya gagang pintu.

Kamar serba merah muda seakan menerima kedatangannya. Semuanya benar-benar merah muda kecuali gordennya yang berwarna putih transparan dan tertiup angin. Jendela-jendela kaca yang besar membuat cahaya keemasan masuk tanpa permisi. Ruangan ini ikut berwarna merah muda bercampur emas.

Dia melangkah menuju nakas, lalu membuka lacinya. Tak ada apa-apa. Dia memeriksa tempat ini dengan hati-hati. Seluruhnya. Lemari, kasur, semuanya. Dia mencari sesuatu. "Di mana?" tanyanya.

Dia mengetok satu per satu lantai, mendengarkan bunyinya, semua sama saja. Dia berdecak. Hari sudah semakin gelap. Dia pikir, dia tidak mungkin salah kamar. Waktu itu, dia melihat mereka dari bawah. Mereka berdiri di jendela ini, lalu keluar dan pulang. Pasti diletakkan di kamar ini. Tapi, di mana?

Dia tertawa kecil. "Aku tidak boleh tahu, ya? Tidak adil. Aku cuma mau tahu seberapa banyak yang Tante Dana tahu tentangku. Atau sama sekali tidak tahu?" Dia masih tertawa. "Tidak menyenangkan," tambahnya.

Angin bertiup seakan menjawab pertanyaannya. Tapi dia tetap tak mengerti bahasa angin. Dia menatap lemari merah muda, lalu sebuah ide muncul tiba-tiba seakan ada yang membisikkan jawaban di telinganya. Dia menggeser lemari menjauhi dinding, ada sela-sela kosong seperti celah pintu kotak yang kecil. Dia berusaha membukanya. Terlihatlah dua buah buku di sana, tapi dia begitu fokus pada satu buku, buku catatan bersampul kain berwarna coklat lusuh dengan motif bunga-bunga kecil. Di sampulnya terlihat sebuah jahitan bertuliskan 'Danastri Elina'.

Matanya menyipit, dia mungkin sedang tersenyum kemenangan di balik topeng putihnya. Dipeluknya buku itu erat-erat. "Aku menemukannya. Tenang saja, Tante Dana. Aku tidak akan mengambilnya. Sebaliknya, aku akan membiarkan putri cantikmu yang terakhir untuk menemukannya. Biar dia mengingat apa saja yang dia lupakan."

Dia tertawa kecil. "Menyenangkan sekali."

~~~

Beberapa tahun yang lalu.

"Kamu Alexa, ya? Aku Lisa. Salam kenal." Gadis kecil berkulit sawo matang itu tersenyum manis dan mengulurkan tangan.

Alexa tidak menerima uluran tangan itu, membiarkan tangan Lisa tergantung di udara.

"Jangan dekat-dekat aku."

"Kenapa?"

"Nasib buruk akan menghampirimu. Ada darah pembunuh yang mengalir di tubuhku. Aku juga bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa lihat."

Lisa menaikkan sebelah alisnya. "Misalnya?"

"Gemilang. Teman baikmu yang mati di ruang bawah tanah panti. Mati kehabisan darah setelah dipukuli bibiku."

Lisa melebarkan matanya. Alexa mendekat dan berbisik, "Gemilang selalu berada di sampingmu. Aku tidak bisa menolongnya. Menolongnya akan membuatku mati di sini."

Lisa diam membeku. Tubuhnya menggigil.

"Jangan mendekatiku. Kamu tahu siapa yang membuat Sintia dipukuli bibiku? Aku. Karena Sintia mendekatiku. Jadi, jangan mendekatiku kalau kamu tidak mau disiksa Bibi. Aku anak iblis. Anak pembunuh. Jangan dekati aku dan adik-adikku."

Alexa menatap Lisa dengan wajah yang begitu dingin. Dan sejak saat itu, Lisa membenci Alexa dan adik-adik Alexa. Sangat membencinya. Terlebih karena, Sintia juga merupakan teman terbaiknya, bahkan seperti saudara.

~~~

"Tante Dana, Tante Tala. Apakah kalian percaya takdir?" Pria bertopeng itu berjongkok di antara kedua nisan. "Aku percaya. Rasanya, semesta sedang berpihak padaku. Anak-anak kalian kembali bertemu membawa luka yang sama. Takdir yang menyenangkan." Dia tertawa kecil. "Bukankah nasib buruk persaudaraan kalian tidak berhenti? Kita semua dikutuk."

Dia menyentuh batu nisan bertuliskan nama Embun Sitala Laluna. "Aku tidak bisa berhenti membenci kalian semua. Oh, tapi tenang saja. Aku tidak akan membunuh putramu. Justru sebaliknya, aku akan membuatnya menjadi sepertiku. Kurasa, pembalasan dendan seperti ini akan membuatmu terus merasakan sakit di dunia sana, Tante Tala."

Dia mendekati nisan, lalu berbisik. "Apa yang terjadi kalau putramu tahu bahwa ayahnya masih hidup dan aku kurung? Aku siksa setiap hari? Apa yang akan terjadi kalau dia melihat ayahnya? Apakah dia akan berhenti berharap agar ayahnya terus hidup? Apakah harapannya akan berubah menjadi kematian untuk ayahnya saja agar ayahnya tidak perlu tersiksa?" Dia tertawa puas. "Aku tahu kalau keluarga suamimu tidak akan membiarkan tim forensik menelitinya. Aku tahu kalau keluarga suamimu memang bodoh dan hanya ingin menguburkan suamimu dengan damai tanpa disentuh oleh siapa-siapa lagi. Mereka berusaha mengikhlaskan kepergian karena kecelakaan itu. Mereka benar-benar bodoh. Mereka menguburkan manusia lain hahaha."

Pria bertopeng putih itu masih mengusap-usap nisan. "Tenang saja, suamimu tidak akan mati dengan mudah. Aku menjaganya dengan baik sampai putramu bertemu dengannya nanti. Ah, aku tidak sabar. Aku ingin putramu membunuhku. Aku ingin dia menjadi sepertiku. Rantai dendam yang tidak akan pernah terputus. Menyenangkan. Kita semua memang akan terus tenggelam dalam dendam.

"Ah, aku yakin kamu menangis di dunia sana Tante Tala. Aku ingin sekali mendengarnya. Nanti kita akan bertemu. Akan kuceritakan lebih banyak lagi. Sementara, nikmati dulu rasa sakitmu yang ini. Oh iya, aku sengaja meninggalkan satu-satunya putri Tante Dana. Aku tahu kemampuan apa yang dimilikinya. Justru, itu mempermudahku bertemu dengan putramu, Tante Tala. Ditambah lagi, itu akan menambah besar luka yang dipendam putramu. Aku akan membunuh putri Tante Dana. Putra Tante Tala akan hidup dengan penuh dendam dan kebencian. Dia akan hidup dalam kegelapan. Atau mungkin, dia akan mati membawa dendam. Mari kita lihat. Tunggulah saat itu tiba. Sebentar lagi."

Pria bertopeng putih itu berdiri dan meninggalkan tempat itu sambil bersenandung ceria. Dia menyenandungkan lagu Twinkle Twinkle Little Stars.

Lagu favoritnya.

~~~

Yak yak yak kaged lagi tyda? Wgwggwgwgwgwggwgwgwg maap.

Btw kalau mau ss dan up di mana pun, usahakan jangan spoiler. Terutama pada bagian ayahnya Alam masih hidup hehe.

Ohiya, terus aku bingung kenapa pada ngira Alam dan Sarisha itu sepupuan alias keluarga? Heyyy tydack. Mamanya Alam itu tinggal di panti barengan mamanya Sarisha dan Alexa. Mereka semacam saudaraan dan terlibat sumpah darah, tapi enggak benar-benar sedarah. Giduuu. Nanti baca aja deh Seven Sisters and Seven Marks. Aku kasih waktu baca gratis sebelum beli dengan koin di dreame. Tapi nantiiii. Aku belum up semua chapsnya soalnya. Niatnya abis ini. Nanti aku kabarin deh yaaa di sini dan instagram.

Oke sepertinya itu sajo.

Sampai jumpa di book 3. Nanti ya up nya agak lama. Karena aku masih pelan-pelan merancang semuanya, termasuk detail-detail penting dan kerangka cerita.

Oke, see you!

With love,

Dhey 💋

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now