15. Cinta Pertama

24.9K 3K 381
                                    

Alam dan Sam masih mengatur napas mereka ketika berada tepat di dalam teater dua dan setelah dihubungi Cana melalui walkie talkie. Sam segera menyalakan lampu, meletakkan lampu ke lantai, kemudian menghapus keringat, melepas kecamatanya sebentar yang berembun, membersihkannya, lalu mengenakannya lagi. Sementara, Alam sudah meneliti ruangan penuh debu itu setelah membersihkan kacamatanya juga, sesekali ia bersin ketika debu berhasil membuat hidungnya gatal. Sam menggosok-gosok hidungnya, ia terikut bersin. Lalu, ia buru-buru mendekati Alam.

"Heh jangan tinggalin gue!" serunya.

"Diem anjir udah selese cekcoknya. Lo makin banyak mulut makin diikutin mampus lo."

"Jangan bahas itu dong, njir!"

"Makanya diemm! Cari sesuatu!" Alam menyalakan sendiri lampunya.

"Plis jangan suruh mencar. Satu lampu aja cukup buat bareng."

"Ih anjer sejak kapan lo jadi kayak gini, sih? Manja bener."

"LO TUH HARUSNYA PAHAM DONG GUE ABIS DITEMPELIN SETAN YA GIMANA GUE GAK MAKIN TAKUT SIH!"

Alam menoleh ke arah Sam, kemudian melotot, "HUUUSSSSHHHH KENAPA SIH MESTI NYARING BENER!"

"Elu juga geblekk!"

"Udah udah fokusss. Gue mau nyari sesuatu! Yaudah kalau lo takut sini buruan ikutin gue!" serunya.

Sam berdecak, sama sekali tak berniat menyalakan lampunya sebab ia takut disuruh berpencar. Ia mendekati Alam. Mereka berdua bungkam. Alam fokus mencari petunjuk--sebenarnya ia juga merasa takut, sementara Sam fokus dengan ketakutannya sendiri.

Alam menyorot setiap kursi di sana. Kursi-kursinya berbeda dengan kursi pada bioskop di zaman sekarang, tidak empuk. Kaki-kakinya terbuat dari besi dengan karat serupa karies gigi pada anak-anak yang terlalu banyak makan permen. Bagi Sam sendiri, kursi-kursi kosong yang kotor penuh debu itu serupa monster-monster berbentuk serangga berkaki empat yang baru saja keluar dari tanah, siap menerkam diam-diam. Khayalan Sam terdengar kekanakan, tapi laki-laki itu sebegitu takutnya sampai mengkhayalkan sesuatu yang terasa konyol.

Sam merasa kursi-kursi itu tengah tertawa, menikmati ketakutannya, menunjuk-nunjuk ke arah Sam Si Pengecut yang beraninya hanya bermain dengan wanita tapi tak berani bermain dengan pekat kegelapan. Sam merasa kursi-kursi itu menjulurkan lidah, mengejeknya, menatapnya remeh, dan itu memuakkan. Di lain sisi, ia merasa ada banyak sekali orang yang duduk di atas kursi, ikut menonton dan menertawakan dirinya yang penakut itu bersama-sama, seperti menertawakan badut bodoh.

Sam menarik napas, mencoba mengalihkan pandangannya dari kursi-kursi tua yang menjengkelkan itu. Tak pernah ia bayangkan kalau dirinya bisa sepenakut ini pada benda mati.

Alam terus melangkah maju mendekati bagian depan ruangan. Bukannya ia tak takut, ia hanya sedikit lebih berani dari Sam. Sedikit saja. Nyatanya, pikirannya pun tak kalah negatif dengan Sam. Baginya, kursi-kursi itu adalah jejeran makhluk yang bersiap melumatnya hidup-hidup. Pikirannya jauh lebih berlebihan dan konyol dibandingkan Sam. Ia terus merasa ditatap dengan tajam, dengan lidah menjulur penuh liur, penuh nafsu dan rasa lapar. Seperti ada tawa sang predator mengerikan yang menggema di dalam kepalanya, menertawakan mangsanya. Ia selalu berusaha membuang pikiran itu jauh-jauh, fokus mencari sesuatu. Setan tak bisa melumat manusia, mereka hanya bisa mengusili dan menertawakan manusia yang gemetar kuat ketakutan seperti daun yang tertiup badai.

Nyatanya, Alam memang gemetaran hingga sorot lampunya tak stabil. Beberapa kali ia mengutuk dirinya sendiri yang takut, padahal tak ada apa pun di sana, setidaknya belum ada apa pun. Ternyata, ia tak jauh berbeda dengan Sam, hanya saja, ia mampu mengendalikan diri agar rasa takutnya tak terlihat begitu kentara.

Alexandra's MemoriesWhere stories live. Discover now